JAKARTA (Suara Karya) : Kasus investasi bodong yang menyeret nama PT Bumi Sumber Swarna (BSS) kian menuai sorotan setelah muncul dugaan kuat adanya rekayasa dalam struktur direksi dan kepemilikan saham perusahaan.
Data akta perusahaan menunjukkan bahwa Kok Huat Tukimin diangkat sebagai Direktur sekaligus pemegang saham terbesar PT BSS pada 26 Maret 2020, namun meninggal dunia hanya lima hari kemudian, pada 31 Maret 2020.
Langkah tersebut dinilai janggal dan terindikasi sebagai upaya “penumbalan” untuk mengalihkan tanggung jawab hukum dari aktor utama di balik skema investasi bodong bernilai fantastis hingga Rp2 triliun.
Akta yang Sarat Kejanggalan
PT Bumi Sumber Swarna berdiri berdasarkan Akta Pendirian Nomor 45 tanggal 22 Maret 2013 yang dibuat oleh Notaris R. Johanes Sarwono, S.H. di Jakarta Selatan.
Dalam akta awal, susunan pengurus yakni, Komisaris Andrew Halim, Direktur Hungdres Halim + pemegang saham 25 lbr saham.
Seiring waktu, perusahaan melakukan lima kali perubahan akta antara 2016 hingga 2023. Dari data hukum yang diperoleh, nama-nama seperti Andrew Halim, Hungdres Halim, dan Tahir Ferdian muncul bergantian sebagai direksi dan komisaris, menunjukkan adanya rotasi kepemilikan saham yang mencurigakan.
Dalam Akta Perubahan Nomor 29 tanggal 26 Maret 2020, yang dibuat oleh Notaris Kurniawati Zagoto, S.H., M.Kn. di Tangerang Selatan, posisi direksi berubah menjadi:
Komisaris: Kwek Kie Jen (1.250 lembar saham)
Direktur: Kok Huat Tukimin (23.750 lembar saham)
Namun hanya lima hari setelah pengangkatan, Kok Huat Tukimin dilaporkan meninggal dunia pada 31 Maret 2020.
Melihat hal tersebut, banyak pihak yang menduga direktur yang menjadi boneka ini, apakah sebenarnya sudah meninggal dan namanya dipakai serta di backdate oleh notaris.
Dugaan lainnya apakah saat itu Kok Huat Tukimin sedang sekarat lima hari sebelum meninggal dan disuruh menandatangani akta perubahan atau diduga sebenarnya dia sudah meninggal namun di backdate seolah-olah menandatangani akta tersebut sebelum meninggal.
Jelas hal ini patut dipertanyakan, karena tidak mungkin akta jadi 5 hari sang direktur langsung meninggal dunia. Apalagi sangat tidak masuk akal akta bisa jadi dalam waktu 5 hari.
Selain itu, fakta tersebut juga menimbulkan pertanyaan publik, mengapa seseorang yang dalam kondisi sakit justru dijadikan direktur dan pemegang saham terbesar dalam perusahaan yang tengah bermasalah hukum?
Apakah kematian Kok Huat Tukimin digunakan sebagai dalih untuk menghapus jejak pertanggungjawaban pidana dari skandal investasi bodong yang dilakukan sebelumnya?
Kuasa hukum korban investasi bodong PT BSS, Sakti Manurung dari Master Trust Law Firm, menegaskan bahwa pihak yang semestinya bertanggung jawab adalah Tahir Ferdian dan Hungdres Halim.
Mereka diduga sebagai aktor utama yang menikmati hasil dana nasabah melalui skema investasi palsu di bawah bendera PT BSS.
“Kok Huat Tukimin diduga hanya boneka yang ditumbalkan. Menurut dugaan kami, yang sebenarnya menikmati uang nasabah adalah Tahir Ferdian dan Hungdres Halim. Oleh karena itu mereka harus bertanggung jawab atas kerugian korban,” tegas Sakti Manurung, Selasa (28/10/2025).
Transaksi Mencurigakan
Data akta menunjukkan adanya pergeseran kepemilikan saham besar dari Tahir Ferdian ke Kok Huat Tukimin pada 26 Maret 2020, tepat lima hari sebelum Kok Huat meninggal dunia.
Sebelumnya, dalam Akta Nomor 16 tanggal 19 November 2019, Tahir Ferdian masih tercatat sebagai komisaris sekaligus pemegang 23.750 lembar saham, dengan Tony sebagai direktur pemegang 1.250 lembar saham.
Perubahan drastis tersebut menimbulkan dugaan kuat adanya rekayasa administratif untuk mengalihkan tanggung jawab hukum menjelang mencuatnya skandal gagal bayar PT BSS terhadap ribuan nasabah.
Ribuan Nasabah Menjerit
Kasus gagal bayar PT BSS diperkirakan menelan kerugian hingga Rp2 triliun, dan melibatkan ribuan nasabah di berbagai daerah.
Modusnya, PT BSS menjanjikan imbal hasil tinggi dari investasi properti dan proyek fiktif, namun dana nasabah justru diduga dialirkan ke pihak-pihak internal dan afiliasi.
Sementara itu, Farlin Marta yang juga kuasa hukum para nasabah mengatakan bahwa setelah kematian Kok Huat Tukimin selaku Direktur PT. BSS terakhir, seharusnya Tahir Ferdian, Hungdres Halim, Andrew Halim dan Kwek Kie Jen segera melakukan RUPS untuk menggantikan posisi Direktur PT. BSS.
“Menurut Pasal 98 UU PT secara jelas mengatur direksi mempunyai wewenang mewakili perusahaan baik di dalam maupun di luar pengadilan. Selain itu seorang Direktur memiliki tugas untuk melaksanakan kepengurusan, pengelolaan dan memimpin tugas sehari-hari dalam sebuah PT,” jelas Farlin Marta.
“Dengan kekosongan posisi Direktur PT. BSS dr sejak 31 Maret 2020 hingga saat ini, menunjukkan memang PT. BSS ini merupakan perusahaan investasi pura-pura yang bertujuan menipu nasabah dan/atau masyarakat Indonesia,” pungkasnya.
Kasus PT Bumi Sumber Swarna juga menjadi cerminan bagaimana akta perusahaan dapat dimanipulasi untuk menyamarkan tanggung jawab hukum.
Dengan data otentik dan pola pergeseran kepemilikan saham yang mencurigakan, publik kini menunggu transparansi aparat hukum dalam membongkar siapa sebenarnya otak di balik investasi bodong Rp2 triliun ini.
Hingga kini, publik menantikan langkah hukum yang tegas dari aparat penegak hukum untuk menelusuri keabsahan akta-akta perubahan PT BSS dan menetapkan pihak-pihak yang paling diuntungkan dalam skema ini. (Warso)

