
JAKARTA (Suara Karya): Guna mendongkrak kualitas lulusan perguruan tinggi vokasi, Ditjen Pendidikan Vokasi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) meluncurkan Program Sertifikasi Kompetensi dan Profesi 2020.
Program tersebut menargetkan 15 ribu mahasiswa vokasi telah tersertifikasi sebelum kelulusannya. Dengan demikian, sertifikat dapat digunakan sebagai “bekal” untuk bersaing di dunia kerja.
“Semoga target bisa tercapai di era kebiasaan baru saat ini,” kata Direktur Pendidikan Tinggi Vokasi dan Profesi, Kemdikbud Benny Bandanadjaja usai peluncuran Program Sertifikasi Kompetensi dan Profesi 2020 yang digelar virtual, Kamis (9/7/20).
Benny menjelaskan, program terbagi dalam dua kelompok, yaitu mahasiswa dan pimpinan di pendidikan vokasi, baik itu tingkat perguruan tinggi, sekolah, dosen, atau Pranata Laboratorium Pendidikan (PLP).
Program sertifikasi kompetensi diberikan kepada mahasiswa dengan syarat, yaitu berada di semester tiga untuk diploma dua (D-2), semester lima untuk D-3 dan semester tujuh untuk D-4.
“Kampus akan melakukan seleksi untuk mahasiswa yang dinilai layak untuk ikut dalam program sertifikasi,” tuturnya.
Lewat sistem pembelajaran jarak jauh, Benny memprediksi biaya program sertifikasi mahasiswa vokasi bisa lebih efisien. Karena prosesnya sebagian besar dilakukan secara daring.
“Mahasiswa, pimpinan, dosen maupun PLP juga bisa mengajukan diri sebagai provider dari pelatihan. Tugasnya, melaksanakan kegiatan pelatihan. Pesertanya bisa dari mana saja dan bisa dari berbagai institusi,” katanya.
Ditambahkan, pengajuan sebagai provider harus sesuai persyaratan. Sumber pembiayaan berasal dari Kemdikbud. Pelatihan digelar secara daring.
Benny menegaskan, hasil (output) yang diharapkan pemerintah dari program ini bukan hanya sekadar sertifikat, tapi bagaimana mengembangkan pendidikan tinggi vokasi agar menjadi lebih baik dari sisi sumber daya manusia. Misalkan, untuk pimpinan, pemerintah minta dibuatkan dokumen pengembangan institusi terkait dengan pelatihan yang sudah didapatkan.
Untuk dosen, output yang diharapkan adalah dapat membuat dokumen, modul, praktek, perkuliahan, pembelajaran, atau SOP tentang pengembangan profesionalisme di bidang pendidikan khususnya terkait dengan kegiatan kevokasian.
Sementara itu, Dirjen Pendidikan Vokasi (Diksi) Wikan Sakarinto menyampaikan program ini harus bisa mendukung link and match yang levelnya sampai ‘pernikahan’ antara perguruan tinggi vokasi dan industri.
“Ini menjadi engine, bahan bakar pernikahan massal. Mahasiswa kita bisa diserap atau berwirausaha” ujar Wikan.
Sementara itu, Dirjen Pendidikan Vokasi Wikan Sakarinto berharap, serapan industri terhadap lulusan pendidikan vokasi dalam setahun mencapai lebih dari 80 persen. Jika tidak, dipastikan ada yang salah dengan kurikulum program studi pendidikan vokasi.
“Jika daya serap dibawah 80 persen, berarti ada yang salah. Mungkin kurikulumnya tidak cocok meski sudah disusun bersama industri,” kata Wikan.
Selain kurikulum yang tidak cocok, lanjut Wikan, hal lain yang bisa membuat angka serapan rendah adalah semangat belajar dari para mahasiswa. Bisa jadi, kuliah di pendidikan vokasi hanyalah pilihan kedua, sehingga mahasiswa tidak bisa menikmatinya.
“Ini jadi pekerjaan rumah kita bersama, semangat mahasiswa kuliah di pendidikan vokasi harus diberesi, harus sesuai passion,” ucap Wikan.
Wikan menyebutkan, Kemdikbud menargetkan 70 persen kurikulum pendidikan vokasi adalah base learning project dari industry, untuk semua materi kuliah. Diharapkan kurikulum selaras dengan kebutuhan dunia industri.
Ia mengutip Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan tinggi di Indonesia tahun 2019 yang mencapai 34,58 persen. Dari prosentase itu, 8,97 persen adalah mahasiswa vokasi. Jumlah mahasiswa secara keseluruhan sekitar 8 juta, yang mana 721 ribu diantaranya adalah mahasiswa vokasi. (Tri Wahyuni)