Suara Karya

Kemdikbud Siapkan Peraturan Terkait Kekerasan Seksual di Kampus

JAKARTA (Suara Karya): Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) tengah mempersiapkan peraturan untuk mecegah terjadinya kekerasan seksual di kampus. Kekerasan seksual merupakan tiga dosa besar dalam dunia pendidikan, selain intoleransi dan perundungan.

Hal itu dikemukakan Mendikbud Nadiem Anwar Makarim dalam webinar bertajuk “Ngobrol Intim: Yang Muda, Yang Berjuang untuk Setara” yang digelar Pusat Penguatan Karakter (Puspeka) Kemdikbud bersama Jaringan Muda Setara, Selasa (27/4/2021).

Kegiatan tersebut sekaligus menutup Bulan Kepedulian dan Pencegahan Kekerasan Seksual serta menyambut Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas).

Mendikbud Nadiem menjelaskan, tidak ada toleransi bagi tindakan kekerasan seksual di unit-unit pendidikan. Peserta didik dan pengajar harus bebas dari kekerasan seksual. Karena itu, para pihak diminta melaporkan isu-isu terkait kekerasan seksual baik di sekolah maupun kampus.

“Kita sangat hipokrit saat mengajarkan Pancasila, tapi aspek Ketuhanan Yang Maha Esa dan moralitas, ternyata tak kita junjung tinggi,” ucapnya.

Karena itu, lanjut Nadiem, pemerintah harus hadir untuk melindungi satuan pendidikan dari pelecehan dan kekerasan seksual. “Guru, murid, mahasiswa dan dosen jangan pernah takut melaporkan kasus kekerasan seksual yang terjadi,” ujar Mendikbud.

Kekerasan seksual terjadi, menurut Mendikbud, pertanda adanya gejala krisis moral dalam institusi pendidikan dan masyarakat. Anak baru bisa merdeka belajar, jika terlepas dari intoleransi, kekerasan seksual.dan perundungan.

“Anak harus merdeka dari tindakan yang menjajah potensi dan kesehatan mental mereka,” kata Nadiem menegaskan.

Dalam bagian akhir pembicaraannya, Nadiem mendapat pertanyaan mahasiswi Universitas Bina Nusantara yang juga penyandang tunarungu, Taruli Felicia. Ia bertanya seputar akses bagi difabel di kampus dan bagaimana cara melaporkan kekerasan seksual di kampus.

Mendikbud menjelaskan, Permendikbud No 46 Tahun 2014 tentang Pendidikan Khusus, Pendidikan Layanan Khusus dan/atau Pembelajaran Layanan Khusus pada Pendidikan Tinggi telah mengatur agar setiap WNI termasuk penyandang disabilitas dapat menyelesaikan studinya dengan aman dan optimal.

Permendikbud Pencegahan dan Penanganan Kasus Kekerasan Seksual juga dirancang dengan menjunjung tinggi prinsip inklusivitas dengan mengatur kesetaraan akses, khususnya bagi difabel. Juru bahasa isyarat dan penyederhanaan alur serta mekanisme pelaporan adalah beberapa hal yang akan diatur.

“Inklusivitas merupakan materi utama kampanye melawan Kekerasan Berbasis Gender Online yang kami lakukan melalui Puspeka. Kami sadar perlu penanganan khusus bagi teman difabel yang rentan mengalami kasus semacam itu,” ucap Mendikbud.

Sementara itu, Perwakilan Kelompok Narasi Perempuan Banjarmasin, Anna Desliani bertanya seputar tindak lanjut yang dilakukan Kemdikbud terkait penanganan kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan.

Terkait hal itu, Nadiem menegaskan, pihaknya sudah meneruskan beberapa laporan kasus kekerasan seksual kepada pihak yang berwajib. Namun, ia ingin membuat Permendikbud yang dapat mencegah terjadinya kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan dan perlindungan bagi korbannya.

“Mahasiswa laki-laki, juga harus berperan aktif dalam membela hak-hak kesetaraan gender serta mengecam kekerasan seksual dan berbagai kasus intoleransi lainnya di kampus. “Mari kita bergerak bersama untuk mewujudkan kesetaraan gender di kampus-kampus,” katanya.

Mendikbud juga berharap komunitas mahasiswa dapat saling mendukung dalam mengekskalasi laporan kekerasan seksual, dengan cara memberi perhatian kepada warga kampus, terutama yang difabel agar bisa ikut menyuarakan isu kekerasan seksual.

“Kalau Permendikbud-nya sudah keluar, pasti kita akan monitor secara real time. Supaya isu tersebut tidak mentok di perguruan tinggi saja, tetapi juga dimana saja,” ujarnya.

Mendikbud menilai, kunci dari semua itu adalah menciptakan ‘multi-channel’ untuk meningkatkan transparansi agar tercipta check and balance di internal kampus. Selain juga butuh organisasi dalam kampus yang independen, dimana mahasiswa dan komunitasnya dapat memberi rekomendasi untuk ekskalasi laporan.

“Penindakan indisipliner bagi dosen atau mahasiswa dapat dilakukan jika ada banyak bukti kuat. “Kita bukan hanya kampanye. Tetap juga perlu sanksi dan hukuman bagi para pelaku. Penindakan adalah bagian dari kebijakan itu,” katanya.

Mahasiswi dari Jakarta, Annisa Nurul Hidayah Surya bertanya tantangan yang dihadapi Kemdikbud dalam penyusunan Permendikbud tentang Pencegahan dan Penanganan Kasus Kekerasan Seksual dan cara mengatasinya.

Mendikbud menjelaskan, pihaknya memiliki tim khusus yang menangani pembuatan peraturan tersebut. Pihaknya mendorong konsensus bersama instansi-instansi lain agar tercipta keselarasan dengan peraturan yang sudah ada sebelumnya.

“Konsensus bersama penting agar peraturan tidak tumpang tindih dan klop dengan peraturan yang lain,” ucap Nadiem.

Dalam menyikapi wilayah abu-abu dalam kekerasan seksual, Mendikbud memastikan, peraturan maupun kampanye publik telah mendefinisikan seluruh spektrum kekerasan seksual yang ada. Misalkan, komentar yang membuat tidak nyaman dan bodyshaming sering. Dua hal itu dianggap bukan kekerasan seksual, padahal masuk kontinum kekerasan seksual.

“Karena pada akhirnya, tindakan semacam itu akan menghasilkan kekerasan seksual, lantaran sering dikesampingkan dan ditolerir,” ujarnya.

Mendikbud mengakui, tindakan seperti itu tak hanya terjadi di perguruan tinggi, tetapi juga di instansi pemerintahan dan perusahaan swasta. Maka sudah saatnya pemerintah mengambil posisi untuk menjelaskan bahwa yang “abu-abu” itu sebetulnya bukanlah “abu-abu”.

“Berbagai tindakan amoral yang memberi ruang pada para pihak yang tidak menghormati kesetaraan gender menjadi tantangan utama dalam penanganan masalah ini,” katanya.

Ditambahkan, kebijakan yang sedang dirancang bukan hanya melindungi salah satu pihak, tapi juga seluruh korban pelapor kekerasan seksual, baik pendidik maupun peserta didik.

“Ada beberapa hal yang jadi beban bagi para pendidik, karena merekalah orang dewasa dalam lingkungan pendidikan. Misalkan, hubungan antara guru dan peserta didik di kampus atau lingkungan pendidikan yang dianggap oke. Itu harus diluruskan,” kata Nadiem.

Kalau ada position of power, Nadiem menilai, hubungan otoritas akan selalu rentan tindakan dominan atau intimidasi. Itulah bahayanya sistem power kalau dikaitkan dengan seksualitas, gender dan posisi. Karena pada ujungnya adalah dominasi yang kuat kepada yang lemah. Itulah yang harus dicabut hingga ke akar-akarnya. (Tri Wahyuni)

Related posts