Kemdikbud Sosialisasikan Adaptasi Panggung Pertunjukan di Masa Pandemi

0
(Suarakarya.co.id/Tri Wahyuni)

JAKARTA (Suara Karya): Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) akan giat menyosialisasikan adaptasi panggung pertunjukan di masa pandemi corona virus disease (covid-19). Adaptasi itu penting dipahami para pelaku seni agar mereka tetap dapat berkreasi, namun terhindar dari penularan virus.

“Lewat sosialisasi ini, kami harap adaptasi baru dari panggung pertunjukan dapat dipahami para pelaku seni agar mereka tak salah langkah,” kata Direktur Pengembangan Tenaga dan Lembaga Kebudayaan, Kemdikbud, Judi Wahyudin dalam acara sosialisasi protokol kesehatan covid-19 di Rumah Budaya Puspo Budoyo Ciputat, Tangerang Selatan, Jumat (21/8/20).

Hadir dalam kesempatan itu pendiri Rumah Budaya Puspo Budoyo, Luluk Sumiarso.

Judi menuturkan, pandemi covid-19 telah meluluhlantakkan hampir semua sektor kehidupan di Indonesia, termasuk seni budaya. Banyak seniman terpaksa alih profesi agar dapur tetap ngebul, lantaran tak ada panggung dalam 6 bulan terakhir.

Untuk mengatasi masalah itu, lanjut Judi, Kemdikbud bersama Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) pada Juli 2020 lalu, menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Panduan Teknis Pencegahan dan Pengendalian Covid 19 Bidang Kebudayaan.

“Terbitnya SKB itu diharapkan jadi payung hukum para pihak untuk menghidupkan kembali kegiatan seni dan budaya serta ekonomi kreatif. Karena pandemi tidak bisa hilang dalam waktu segera, kitalah yang harus beradaptasi. Jika tidak dicoba, maka kita tidak punya pengalaman untuk itu,” ujarnya.

Hal senada dikemukakan Sekretaris Jenderal Asosiasi Seniman Tari Indonesia (ASETI), Anti Agustina. Ia berharap ruang-ruang kreatifitas tidak berhenti di masa pandemi. Dengan memahami dokumen protokol kesehatan yang dikeluarkan instansi, maka penerapan di lapangan akan lebih baik.

“Adanya protokol kesehatan untuk kebudayaan menjadi angin segar bagi para pelaku seni. Kami dapat kembali beraktifitas. Begitupun sanggar tari tetap ada proses pengajaran, sambil mencari peluang dalam memaksimalkan dunia digital sebagai ruang ekspresi,” ujarnya.

Ia menjelaskan, pelatihan diawali dengan pengecekan suhu tubuh. Setiap latihan dibatasi orangnya, hanya 15- 20 orang atau separo dari peserta didik. Para peserta didik harus bisa beradaptasi dengan penggunaan pelindung wajah (face shields) dan masker saat berlatih.

Di ruang kreatifitas, lanjut Agustina, para kreator dapat mengeksplorasi bahasa tubuhnya tanpa harus mengurangi arti yang sesungguhnya. Begitu pun aturan jaga jarak dalam pola koreografi yang mensyaratkan satu sampai dengan dua meter antar orang. (Tri Wahyuni)