JAKARTA (Suara Karya): Sejumlah pegiat pendidikan menilai Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemdikbudristek) tidak transparan soal data yang ditampilkan dalam Rapor Pendidikan (Rapendik) Indonesia 2023.
“Tidak terbukanya Rapendik 2023 pada data kemampuan dan kompetensi literasi dan numerasi siswa Indonesia. Pembuatan Rapendik hanya untuk menyenangkan Presiden Joko Widodo,” kata Dewan Pengawas Yayasan Penggerak Indonesia Cerdas Dhitta Puti Sarasvati dalam siaran pers, Rabu (27/9/23).
Seharusnya, lanjut Dhitta, Kemdikbudristek secara gamblang memaparkan indikator literasi yang sudah baik dan yang belum. Lalu berapa skor kompetensi siswa di bidang literasi dan numerasi.
Skor ini nantinya bisa dibandingkan dengan skor PISA. Dengan demikian, publik bisa menilai seberapa maju capaian kompetensi literasi dan numerasi siswa Indonesia saat ini.
“Rapendik ini sangat tidak transparan. Tak ada indikator penilaian literasi dan numerasi yang dipublikasikan, sehingga publik tidak bisa menilai apakah Rapendik bisa menjawab kedaruratan literasi yang sedang melanda Indonesia,” ujarnya.
Dalam Rapendik dilaporkan pada jenjang SD sebanyak 61,53 persen murid memiliki kompetensi literasi di atas minimum, naik 8.11 dari 2021 (53.42 persen). Dalam kompetensi numerasi, sebanyak 46,67 persen murid memiliki kompetensi numerasi di atas minimum, naik 16,01 dari 2021 (30,66 persen).
Di jenjang SLTP sebanyak 59,00 persen murid memiliki kompetensi literasi di atas minimum, naik 7,63 dari 2021 (51,37 persen). Dalam kompetensi numerasi, sebanyak 40,63 persen murid memiliki kompetensi numerasi di atas minimum, naik 3,79 dari 2021 (36,84%).
Di jenjang SMA, sebanyak 49,26 persen murid memiliki kompetensi literasi di atas minimum, turun 4,59 dari 2021 (53,85 persen) dan untuk kompetensi nnumerasi sebanyak 41,14 persen murid memiliki kompetensi numerasi di atas minimum, naik 5,98 dari 2021 (35,16 persen).
Menurut Dhitta, publik butuh fakta tentang kemampuan murid Indonesia lebih detail. Apa saja kemampuan anak Indonesia di bidang literasi, bagaimana pemahaman bacaannya, dan seterusnya.
“Ada banyak indikator literasi yang mesti diketahui agar publik juga bisa ikut serta dalam melakukan perbaikan,” kata Dhitta.
Ia berharap, anggaran APBN 2023 untuk Kemdikbudristek sebesar Rp80,22 triliun dapat membuat laporan yang lebih transparan. “Tanpa transparansi dalam Rapendik 2023, tidak berguna sama sekali bagi kemajuan pendidikan di Indonesia. Data-data yang disajikan dalam Rapendik hanya untuk memuaskan para pejabat semata,” ujarnya.
Rapor Pendidikan Indonesia 2023 diketahui melibatkan 267.381 sekolah dan madrasah di seluruh provinsi di Indonesia. Rapendik melibatkan 246.430 kepala sekolah, 3.259.877 guru dan 6.649.311 murid.
Ada 11 indikator utama yang dinilai adalah kemampuan literasi murid, kemampuan numerasi murid, karakter, iklim keamanan sekolah, iklim inklusivitas sekolah, iklim kebinekaan sekolah, kualitas pembelajaran, penyerapan lulusan SMK, kemitraan dan keselarasan SMK dengan dunia kerja, presentasi PAUD terakreditasi minimal B dan Angka Partisipasi Sekolah.
Rapor Pendidikan merupakan hasil evaluasi sistem pendidikan yang dinilai berdasarkan hasil belajar murid, proses pembelajaran, pemerataan kualitas layanan, kualitas pengelolaan sekolah, dan kualitas sumber daya manusia yang terlibat di sekolah.
Rapor Pendidikan berasal dari hasil Asesmen Nasional (AN), Data Pokok Pendidikan (Dapodik), sistem pendataan pendidikan yang dikelola Kementerian Agama (EMIS), Badan Pusat Statistik (BPS), aplikasi untuk guru dan tenaga kependidikan (seperti PMM, ARKAS, dan SIMPKB), Badan Akreditasi Nasional (BAN) serta Tracer Study (khusus data jenjang SMK).
Pengamat pendidikan dari Vox Point Indonesia, Indra Charismiadji mengatakan Rapendik menjauhkan upaya bangsa dalam meningkatkan Human Capital Indeks (HCI).
“Tidak adanya data kompetensi literasi dan numerasi murid dalam Rapendik sulit membandingkan skor kompetensi murid Indonesia dengan skor murid di negara maju,” kata Indra.
Padahal tingkat kompetensi murid Indonesia sangat menentukan skor HCI Indonesia. Yang nantinya diprediksikan bakal bertolak belakang dengan hasil Rapendik, yaitu PISA 2022 yang tidak akan lama lagi diumumkan.
“Karena faktanya kualitas pendidikan Indonesia saat ini semakin turun. Baru beberapa minggu lalu, saya membahas kondisi anak-anak SMP Negeri di Jawa Barat yang tenyata belum bisa membaca,” papar Indra.
Saat ini, tahun 2020, skor HCI Indonesia 0,54 persen. Artinya produktivitas dari setiap anak yang lahir hanya mencapai 54 persen dari kapasitas idealnya.
Skor itu sangat jauh dari skor negara lain seperti Singapura, Jepang, Korsel, Australia dan China. Posisi HCI Indonesia berada pada tingkat 96 dari 173 negara.
“BPK mestinya mengaudit kinerja Kemdikbudristek tidak saja dari sisi anggaran, tetapi juga sisi kinerja. Sehingga anggaran yang dialokasikan pemerintah berbanding lurus dengan hasil dan capaian kinerjanya,” ucap Indra menandaskan. (Tri Wahyuni)