
JAKARTA (Suara Karya): Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti) mulai “panen” lulusan doktor usia muda peserta program beasiswa PMDSU (Pendididikan Magister Menuju Doktor untuk Sarjana Unggul). Mereka akan mengisi kekurangan dosen bergelar doktor di Tanah Air.
“Lulusan doktor tahun ini sebagian besar berasal dari peserta program PMDSU batch dua,” kata Dirjen Sumber Daya Iptek dan Pendidikan Tinggi (SDID), Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti), Ali Ghufron Mukti di Jakarta, Senin (2/9/2019).
Ia ditemui usai menerima salah satu peserta program PDMSU yang meraih gelar doktor dengan predikat cum laude dari Universitas Airlangga diusia muda, 26 tahun yaitu Nastiti Intan Permata Sari dan calon doktor dari IPB, Eka Setiawan.
Program beasiswa PMDSU merupakan terobosan yang diinisiasi Ditjen SDID dalam mencetak doktor muda yang unggul untuk mengisi sumber daya dosen dan peneliti di Indonesia. Batch pertama pada 2013, PMDSU diikuti 57 peserta dan dibimbing 27 promotor yang tersebar di 6 perguruan tinggi penyelenggara.
Batch kedua, lanjut Ali Ghufron, kembali dibuka pada 2015 dengan lonjakan peserta menjadi 296 penerima beasiswa. PTN penyelenggara pun menjadi 12 universitas dan melibatkan 176 promotor. Pada PMDSU batch ketiga ada sebanyak 248 peserta dengaj 162 promotor di 11 PTN penyelenggara.
“Peserta PMDSU harus mampu selesaikan studi S-2 dan S-3 dalam 5 tahun. Mereka juga dituntut menerbitkan 2 publikasi internasional. Saya senang karena Nastiti telah membuat publikasi internasional atas hasil penelitiannya,” ucap Ali Ghufron.
Dengan masa kuliah pascasarjana yang singkat, lanjut mantan Wakil Menteri Kesehatan itu, sebagian besar peserta program PMDSU lulus dibawah usia 30 tahun. Ia mencontoh Nastiti yang berusia 26 tahun. Bahkan ada peserta batch pertama yang meraih gelar doktor di usia 24 tahun, Grandprix dengan 9 publikasi internasional.
“Belum tentu mahasiswa yang belajar di luar negeri dapat menghasilkan publikasi sebanyak itu. Artinya program ini bisa menjadi terobosan Kemristekdikti dalam menyiapkan sumber daya manusia unggul,” katanya.
Bahkan dari segi biaya, lanjut Ali Ghufron, program PMDSU jauh lebih murah. Untuk meluluskan satu mahasiswa PMDSU setidaknya butuh Rp300 sampai Rp400 juta. Sedangkan biaya studi pascasarjana di luar negeri butuh sekitar Rp1 miliar.
Ghufron mengungkapkan, selama studi peserta PMDSU diberi kesempatan untuk berkolaborasi dengan peneliti dunia, yakni melalui program Peningkatan Kualitas Publikasi Internasional (PKPI) di kampus luar negeri selama 3-6 bulan.
“Jaringan dengan kampus di luar negeri juga makin luas lewat ilmuwan diaspora yang tergabung dalam program SCKD (Simposium Cendekia Kelas Dunia),” kata Guru Besar Universitas Gadjah Mada itu menandaskan. (Tri Wahyuni)