Suara Karya

Kenegarawanan Habibie dan Detik-detik yang Tak Akan Terlupakan

Oleh: Ricky Rachmadi

Tanggal 1-11 September 2019, adalah detik-detik yang tak akan pernah terlupakan dalam sejarah Indonesia. Detik-detik ketika anak-anak bangsa luruh dalam tangis. Detik-detik ketika tokoh besar tergolek lemah dalam perawatan di Rumah Sakit Pusat TNI Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto.
Seperti judul buku yang ia tulis: “Detik-Detik yang Menentukan”, Rabu (11/9/2019) pukul 18.05 WIB, saat azan Maghrib berkumandang, Allah memanggil ke haribaan-Nya. Jutaan kepala tertunduk haru, air mata tumpah membasahi Bumi Pertiwi. Presiden ke-3 RI, Prof. Dr. Ing. BJ. Habibie, berpulang ke Rahmatullah. Inna lillahi wa inna ilayhi raji’un.
Tak terhitung catatan heroisme dan kenegarawanan Pak Habibie. Hari ini, hampir setiap media massa dan media sosial berlomba-lomba mengenang, mengulas, mengupas berbagai gebrakan teknolog superjenis dan religius ini, dalam menjaga keutuhan, menyelamatkan dan memajukan NKRI.
Betapa tidak, efek krisis ekonomi regional dan global pada 1998 yang berimbas pada situasi nasional, membuat stabilitas politik dan keuangan terguncang. Dan seperti pepatah, “badai selalu melahirkan nakhoda tangguh”, Habibie tampil menyuntikkan solusi sehingga Republik tak perlu teramputasi.

Nasi Goreng dan Habibienomics
Saya mengenal sosok Habibie saat namanya melambung tinggi sebagai ahli pesawat terbang dan sukses menjadi Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) era Presiden Suharto hingga memimpin Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI). Saya ikut bergabung dengan ICMI dan turut menggagas dan mengelola Center for Information and Development Studies (CIDES): sebuah lembaga think thank untuk menggagas perbaikan dan pembangunan bangsa. Dari sini-lah melambung ide-ide Habibienomics.
Unsur penting Habibienomics adalah titik tolak bahwa pengembangan human capital atau sumber daya manusia (SDM) dan penguasaan teknologi adalah penggerak utama (driving force) pembangunan ekonomi. Sekalipun Habibie mengembangkan gagasannya dari sudut pandang seorang teknokrat, namun gagasan dasarnya bersesuaian dengan kecenderungan baru dalam teori ekonomi yang dipelopori para ekonom muda ketika itu, seperti Paul Krugman, Elhanan Helpman, Laura D’Andrea Tyson. James Brander dan Barbara Spencer yang terutama berpusat di Departemen Ekonomi, MIT, AS.
Kecenderungan baru pemodelan ekonomi ini membuat gusar para pakar ekonomi arus utama (mainstream). Karena, pergeseran yang tajam dalam pemodelan ekonomi dari asumsi pasar sempurna (perfect market), dari skala ekonomi tidak berubah (constant return to scale) kepada skala ekonomi meningkat (increasing return to scale).
Yakni, sebagai akibat pengaruh dari luar atau eksternalitas dan persaingan kompetitif atau monopolistic competition dari perlakuan teknologi sebagai variabel eksogenus kepada teknologi sebagai variabel endogenus; dari perlakuan tenaga kerja semata-mata sebagai faktor produksi kepada pengembangan SDM; dari informasi sempurna (perfect information) kepada informasi asimetries (asymmetric information) dari keunggulan komparatif (comparative advantage) yang bertumpu pada economies of scale karena terkonsentrasinya pekerja terampil dan industri tertentu bernilai tambah tinggi; dan dari penekanan pada efisiensi Ricardian yang bersumber pada buruh murah kepada efisiensi Schumpetarian yang bersumber pada inovasi teknologi.
Konsep pembangunan ekonomi ini, disampaikan Prof. Habibie dalam pembukaan Seri Dialog Pembangunan CIDES pada awal tahun 1993. Dalam tulisan ini, saya banyak mengangkat memori tentang pengalaman diskusi soal ekonomi dan pembangunan dengan Pak Habibie. Kami sering berdiskusi bahkan di ruangan privat.
Ada kisah menarik, saat menjelang pertemuan, beliau menanyakan apakah sudah makan atau belum. Ketika kami menjawab belum, Pak Habibie tidak menjawab tetapi langsung berlari ke dapur untuk memasak nasi goreng yang ternyata disuguhkan untuk kami. Ini kenangan indah dan pembelajaran yang luar biasa. Jiwa demokratis dan egaliter seorang Habibie benar-benar lahir dari nuraninya yang terdalam. Ia sangat humble dan supel sehingga banyak berkorban untuk menyenangkan banyak orang dari banyak golongan. Inilah detik-detik yang tak akan pernah terlupakan.

Solusi Cerdas, Tegas dan Bernas
Usai dilantik menjadi presiden, permasalahan ekonomi yang dihadapi Habibie, membutuhkan penyelesaian yang sangat serius. Dan bersama jajaran Kabinet Reformasi Pembangunan, ia mampu menjawabnya dengan jurus-jurus khas teknokrat. Konsep ekonomi memang bertebaran di sejumlah belahan dunia. Namun bagus atau tidak konsep-konsep tersebut, tergantung pada seberapa cerdas, tegas dan bernas seorang pemimpin memilih dan menganalisis satu di antaranya untuk disesuaikan dengan kondisi rill di suatu negara.
Krisis ekonomi kala itu, sangat menghantam daya beli masyarakat. Sejumlah koorporasi kolaps. Perbankan luluh lantak. Pada sisi lain, Habibie harus bisa mengembalikan krisis kepercayaan publik terhadap pemerintah.
Beberapa contoh kecil tanda percepatan pemulihan ekonomi ala Habibie, yakni membaiknya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang semula di posisi Rp 17 ribu menjadi Rp 7.000. Inflasi yang semula double digit pun bisa dibalikkan keadaannya di masa pemerintahan yang relatif singkat.
Agenda pemulihan confidence di sektor keuangan dan koperasi masa Pemerintahan Habibie menuai risiko biaya yang sangat mahal. Pada akhirnya langkah tersebut berhasil. Meski terhantam masalah ekonomi yang tidak ringan, Habibie tidak pernah menyalahkan kondisi eksternal. Padahal, bisa saja dia menyalahkan dampak krisis ekonomi Thailand yang kala itu memang tengah bermasalah. Tapi, Habibie tidak melakukannya. Sebab, ia fokus memperbaiki bidang struktural dan pemantapan koordinasi.

Bapak Demokrasi, Teknologi dan Kemerdekaan Pers
Selain ekonomi dan pembangunan, ada beberapa hal yang menjadi monumen abadi dalam detik-detik pembuatan kebijakan Pak Habibie yang tak akan terlupakan oleh anak-anak bangsa. Pertama, dalam hal demokratisasi, Habibie adalah pilar utama bangsa. Ia berperan penting dalam meletakkan fondasinya. Saat dilantik menjadi presiden pada medio 1998, banyak yang meragukan Habibie saat memilih untuk menerapkan sistem demokrasi.
Dari sudut pandang ekonomi, banyak yang menyangsikan demokrasi akan bertahan di Indonesia. Sebab, banyak ekonom yang memprediksi RI baru bisa menerapkan sistem politik tersebut jika pendapatan perkapitanya di atas USD 6.000. Saat itu, pendapatan perkapita Indonesia jatuh ke angka 610 dolar AS.
Sejarah mencatat, Habibie kerap memasang badan saat kami para akademisi yang tergabung di CIDES menggelar diskusi mengenai demokrasi dan HAM, harus berurusan dengan pihak keamanan. Dan Habibie selalu memberikan dukungan dan perhatiannya.
Di tengah keraguan banyak pihak atas transformasi politik dari otoritarian ke era reformasi, Habibie tetap teguh dengan pendiriannya dan memberi ruang yang luas bagi terbangunnya demokrasi. Bahkan, saat itu sejumlah pihak menilai Habibie tengah bereksperimen dengan mencangkokkan demokrasi ke Indonesia. Namun apa yang dijalankan bukanlah eksperimen, tetapi komitmen untuk membangun demokrasi yang akan terus berlanjut.
Kini reformasi telah melahirkan era keterbukaan, Habibie membuka keran kebebasan pers, kemerdekaan berpendapat dan berpartai, independensi Bank Indonesia, otonomi daerah, dan sebagainya, dengan melahirkan legislasi monumental seperti UU Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik, UU Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilu, UU Nomor 4 Tahun 1999 tentang Susunan Kedudukan DPR/MPR, UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
Kedua, pemikiran dan usaha Habibie dalam bidang teknologi. Hal ini semestinya bisa dilanjutkan untuk memperkuat Indonesia dalam bidang iptek. Warisan PT PAL untuk bidang perkapalan, PINDAD untuk persenjataan, IPTN untuk kedirgantaraan, seharusnya masuk dalam kerangka undang-undang pembangunan teknologi nasional dan optimalisasi kekuatan militer.
Dan ketiga, yang termasuk paling fenomenal adalah hadiah Pak Habibie untuk kemerdekaan pers. Maka wajar bila Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jawa Barat berharap Presiden RI Joko Widodo dan komunitas pers di Indonesia, menganugerahkan almarhum Bacharudin Jusuf Habibie sebagai Bapak Kemerdekaan Pers.
“Almarhum adalah pembuka keran kemerdekaan pers, maka dengan menimbang berbagai situasi yang kini dirasakan oleh dunia pers saat ini, PWI Jabar berharap Presiden dan komunitas pers menganugerahkan almarhum BJ Habibie sebagai Bapak Kebebasan Pers,” jelas Ketua PWI Jawa Barat Hilman Hidayat lewat rilis resminya, Rabu (11/9/2019) malam.
Sebagai presiden ketiga RI yang menandatangani Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, Habibie berperan besar dalam kehidupan demokrasi bangsa, terutama dalam hal kebebasan pers. Kini, 17 tahun setelah UU Pers diberlakukan, media di Indonesia bisa menikmati atmosfer kebebasan pers.
Akhirnya, tak cukup ruang untuk menuliskan kisah heroisme Pak Habibie untuk negeri ini. Hampir semua detik-detik dalam perjalanan hidupnya, dipersembahkan untuk kebaikan dan kemajuan bangsa. Kita berdoa, semoga dan pasti Allah telah mencatat segala amal dan pengabdiannya menjadi jalan terang-benderang yang mengantarkannya menuju surga, amin. Selamat jalan Pak Habibie.

Penulis adalah Dewan Pakar Ikatan Cedikiawan Muslim Indonesia (ICMI)

Related posts