JAKARTA (Suara Karya): Masalah kesehatan kini menjadi salah satu syarat berhaji. Dari sekitar 221 ribu calon jemaah haji yang terdaftar tahun ini, ada 256 calon jemaah yang dinyatakan gagal berangkat.
“Mereka yang gagal berangkat karena memiliki komplikasi penyakit. Jika dipaksakan, kami khawatir kondisi disana akan memperparah penyakitnya,” kata Kepala Pusat Kesehatan Haji, Kementerian Kesehatan, Eka Jusuf Singka kepada wartawan, di Jakarta, Jumat (6/7).
Eka Jusuf menjelaskan, pelaksanaan ibadah haji tahun ini akan diikuti sekitar 221 ribu calon jemaah dari Indonesia. Dari jumlah itu, sebanyak 204 ribu calon jemaah dari program reguler dan 17 ribu adalah calon jemaah haji khusus.
“Tahun ini ada peraturan baru yang mewajibkan pada semua calon jemaah untuk menjalani tes kesehatan. Jika dinyatakan sehat, calon jemaah baru boleh melunasi sisa pembayaran biaya hajinya,” ujarnya.
Ditambahkan, pemeriksaan kesehatan dilakukan untuk mengukur istitha’ah atau kemampuan jemaah dalam melakukan ibadah di tanah suci, baik secara fisik maupun mental. Ada 4 kriteria yaitu calon dinyatakan sehat atau istitha’ah. Kedua, istitha’ah meski calon jemaah memiliki penyakit tertentu sehingga perlu pendamping.
“Ketiga calon dinyatakan tidak memenuhi syarat sementara seperti terkena penyakit menular. Jika dalam 2 minggu penyakitnya bisa sembuh, maka dinyatakan istitha’ah. Keempat, calon dinyatakan gagal berangkat karena tidak istitha’ah,” tuturnya.
Terkait penolakan atas 256 calon jemaah haji, Eka menjelaskan, hal itu disebabkan 2 kemungkinan. Calon memiliki komplikasi penyakit yang mengancam jiwa atau mengalami gangguan jiwa berat seperti schizoprenia dan dimensia.
“Jika menderita sakit parah, dikhawatirkan tak bisa wukuf di Arafah. Padahal itu adalah tujuan utama dari ibadah haji. Begitupun pasien dimensia dan schizoprenia, karena syarat dari rukun haji adalah berakal,” tuturnya.
Bagi calon jemaah haji yang tak memenuhi syarat istitha’ah itu, Eka Jusuf mengusulkan, posisi diganti oleh ahli waris. Pasalnya, kriteria mampu itu bukan hanya uang, tapi juga sehat secara fisik.
“Pihak yang berhak mengatur kursi kosong ini adalah Kementerian Agama. Kami sudah mengusulkan agar kursi kosong bisa diisi oleh ahli warisnya,” katanya.
Hal baru dalam pelaksanaan Haji 2018, lanjut Eka, penggunaan gelang tangan satu warna sebagai penanda bahwa orang tersebut memiliki masalah kesehatan. Gelang karet kini berwarna oranye.
“Mereka juga dapat kartu elektronik yang berisi data pemeriksaan kesehatan. Kartu itu menggantikan buku kesehatan haji manusia. Dibuat dalam kartu agar lebih ringkas dibawa, dan petugas kesehatan tinggal scan. Ini untuk calon jemaah haji reguler, pada haji khusus masih menggunakan buku,” kata Eka. (Tri Wahyuni)