Kiat Sehat Tangani Pasien Alzheimer, Perbaiki Cara Berkomunikasi!

0

JAKARTA (Suara Karya): Hampir sebagian besar pasien alzheimer suka bertanya berulang dan berhalusinasi akibat kemunduran dalam fungsi otaknya. Kondisi itu sering menimbulkan amarah bagi pendampingnya. Untuk itu, perlu dibangun ‘support system’ yang kuat dalam keluarga, terutama cara berkomunikasi dengan pasien.

“Pendamping harus menyamakan dulu level komunikasinya. Akibat kemunduran fungsi otak, pasien alzheimer kehilangan banyak memori. Karena itu, kita tak boleh kesal jika pasien bertanya berulang atau bicara yang ‘aneh-aneh’,” kata Prof Dr dr Yuda Turana SpS (K) usai pengukuhannya sebagai Guru Besar Bidang Kesehatan Unika Atma Jaya, di Jakarta, Rabu (25/5/22).

Dokter ahli syaraf itu menjelaskan, cara berkomunikasi dengan pasien alzheimer memainkan peran penting dalam menjaga kesehatan mental kedua pihak, yaitu pasien dan pendampingnya. Karena banyak kasus, justru pendamping pasien alzheimer yang meninggal lebih dulu, lantaran terganggu kesehatan psikisnya.

“Karena jika pasien demensia sudah mulai halusinasi, dia akan bicara ‘sesuka hati’, yang jika didengar pendampingnya akan menimbulkan sakit hati. Jika sakit hati itu dibiarkan berlarut, pada akhirnya menimbulkan gangguan kesehatan,” tuturnya.

Untuk itu, Prof Yuda meminta pada pendamping pasien alzheimer untuk tidak meributkan sesuatu. Apapun dibicarakan pasien, tanggapi secara baik dan penuhi keinginan pasien asalkan tidak membahayakan kesehatannya. Jadi, tak perlu terjadi saling berbantah atau bersitegang.

“Menghadapi pasien alzheimer, yang harus berubah adalah pola pikir pendampingnya, bukan pasien. Kalaupun sudah minum obat-obatan, hal itu hanya memperlambat kondisi penyakitnya agar tak makin parah. Lagipula meski berkhasiat, obat juga memiliki efek samping,” ujarnya.

Ia mencontohkan pasien yang minta pulang, karena melihat sprei yang berbeda, padahal ia ada di rumah sendiri. Solusinya, beli sprei yang sama. Karena memori yang tersisa di pasien demensia adalah sprei itu. Kalau bukan sprei itu, artinya bukan rumahnya.

Ditanya apakah pasien demensia sebaiknya dirawat keluarga atau di rumah jompo, Prof Yuda mengatakan, hal itu tergantung kondisi di lapangan. “Jika anak ingin merawat orangtua demensia, sebagai bakti anak, silakan saja. Namun, samakan dulu level komunikasinya. Sehingga prosesnya jadi menyenangkan,” katanya.

Sebagai informasi, alzheimer adalah penyakit degeneratif yang melanda penduduk berusia lanjut (lansia) dan bersifat multi-organ yang meliputi kemunduran struktur dan fungsi otak atau disebut juga demensia.

Indonesia sendiri merupakan salah satu dari 8 negara dengan jumlah lansia terbanyak di dunia.

Dari hasil penelitian Prof Yuda, jumlah pasien demensia di Indonesia lebih tinggi dibanding global, dengan cakupan di beberapa kota seperti Yogyakarta, Medan, Jakarta, Bandung dan Bali. Artinya, sesuai dengan prediksi awal, akselerasi peningkatan masalah neurodegenerative atau kehilangan yang progresif terhadap struktur atau fungsi sel neuron jauh lebih besar.

Menurut data Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) 2020, jumlah lansia Indonesia mencapai 26,82 juta jiwa pada rentang usia 60 hingga diatas 80 tahun.

Sedangkan jumlah penderita alzheimer di dunia diperkirakan mencapai lebih 50 juta orang dan akan bertambah menjadi 100 juta orang pada 2050.

Mendukung hal itu, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Unika Atma Jaya mendirikan Atma Jaya-Alzheimer Indonesia (ATZI) Center of Excellence, hasil kerja sama dengan Alzheimer Indonesia. ATZI akan menjadi pusat pelayanan terpadu yang berfokus pada demensia alzheimer. (Tri Wahyuni)