Suara Karya

Kisah Sukses ‘Uma Lengge Mengajar’ Dorong Minat Baca Anak di Bima, NTB

Ahmad, pegiat pendidikan di Kecamatan Wawo, Kab. Bima, Nusa Tenggara Barat. (Dok Kemdikbudristek) 

JAKARTA (Suara Karya): Ahmad, seorang pegiat pendidikan di Kecamatan Wawo, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB), rela meninggalkan pekerjaannya sebagai dosen dan memilih jalan sunyi yang mendorong minat baca anak-anak di Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB).

Jalan itu dipilih lantaran hatinya trenyuh saat melihat anak-anak di desanya lebih piawai memainkan gawai dibanding membaca buku. Ahmad bertekad membangunkan anak-anak itu dari kebiasaan tersebut dengan mendirikan Uma Lengge Mengajar.

Ahmad mengaku sejak kecil ia sudah suka buku, meski kala itu aksesnya terhadap buku masih sangat minim. Ahmad dan anak-anak di desanya pun terbiasa membaca Al Qur’an selepas magrib di langgar. Hal itu menandakan kegiatan membaca begitu lekat dalam keseharian mereka.

Kegelisahan Ahmad muncul setelah bertahun-tahun merantau dan kembali ke kampung halamannya. Ia menyaksikan sendiri perubahan kebiasaan yang terjadi pada anak-anak di desanya. Selain lebih akrab dengan gawai, aktivitas belajar mengaji setelah magrib pun mulai berkurang. Bahkan, sebagian anak terjebak dalam kenakalan remaja.

Padahal, menurut Ahmad, jumlah sarjana dan mahasiswa di Kecamatan Wawo tak bisa dibilang sedikit. Namun, kehadiran kaum intelektual kampus rupanya belum berbanding lurus dengan kualitas sumber daya dan moralitas masyarakat.

Sebagai dosen lulusan Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram dan guru pondok pesantren, ia prihatin dengan keadaan tersebut.

Pria berusia tiga puluh tahun itu akhirnya menelaah masalah sosial yang melanda kampung halamannya. Hasil penelusuran Ahmad menunjukkan, tingkat literasi dasar yang minim di kalangan anak usia Sekolah Dasar (SD) menjadi salah satu faktor penyebabnya.

Ahmad tidak ingin anak-anak itu terus terpuruk. Ia meyakini anak adalah aset bangsa. Maka, menurutnya perlu ada suatu gerakan yang lahir dari kesadaran kelompok intelektual, sebuah gerakan literasi yang membangkitkan kecintaan anak-anak pada dunia baca.

“Itulah mengapa pada akhirnya kami menginisiasi lahirnya Uma Lengge Mengajar,” tutur Ahmad belum lama ini.

Nama Uma Lengge terinspirasi dari bangunan tradisional suku Mbojo yang berfungsi sebagai tempat tinggal dan lumbung. Suatu hal yang fundamental dalam masyarakat agraris.

Nama itu dipilihnya karena keyakinan bahwa pendidikan merupakan elemen fundamental dalam kehidupan, khususnya masyarakat di Kecamatan Wawo tempat ia berasal.

Awalnya Uma Lengge Mengajar menuai cibiran dari sebagian masyarakat. Bahkan, keluarganya pun tak sepakat dengan upaya Ahmad. Namun, kondisi itu tidak mematahkan semangat Ahmad dan kawan-kawannya untuk membangun pendidikan masyarakat Wawo.

Ahmad, pegiat pendidikan di Kecamatan Wawo, Kab. Bima, Nusa Tenggara Barat, mengajak anak-anak membaca buku di Uma Lengge Mengajar. (Dok Kemdikbudristek)

Ahmad dan rekan relawan di Uma Lengge Mengajar memiliki dua fokus utama, yakni kegiatan internal untuk para relawan dan fun literacy. Kegiatan internal itu meliputi diskusi ilmiah, bedah buku, serta pelatihan penerapan metode dan strategi pembelajaran literasi yang tepat bagi masyarakat.

Sedangkam fun literacy merupakan kegiatan luar ruang bagi anak-anak. Mereka dapat belajar sambil bermain gim edukatif, ice breaking, membaca buku, dan kegiatan lainnya yang diprogramkan di tiap sekolah maupun desa.

Ahmad dan para relawan lainnya juga mengembangkan kegiatan fun literacy dalam bentuk perpustakaan keliling. Tujuannya, agar gerakan literasi dapat merangkul lebih banyak anak di setiap rukun tetangga dan dusun.

Mereka membawakan buku bacaan dan mendongengkan kisah untuk menghidupkan mimpi dan cita-cita anak-anak di Kecamatan Wawo.

Semangat Ahmad tentunya perlu terus didukung agar kemampuan literasi anak-anak bangsa terus meningkat. Hal itu selaras dengan upaya Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemdikbudristek).

Berbagai upaya dilakukan Kemdikbudristek untuk mendukung hal tersebut. Salah satunya melalui platform digital Sistem Informasi Perbukuan Indonesia (SIBI).

SIBI menjawab kebutuhan publik akan buku yang interaktif dan menarik. Publik dapat menemukan buku teks dan buku nonteks digital dalam bentuk Portable Document Format (PDF), audio, dan interaktif.

Buku-buku tersebut mendapat penilaian dan kurasi dari pemerintah, sehingga layak digunakan. Kemdikbudristek juga mengutamakan kolaborasi antarpemangku kepentingan dalam membangun pilar strategi literasi di Indonesia sebagai upaya membangun Profil Pelajar Pancasila.

Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim dalam lokakarya bertajuk ‘Peningkatan Kualitas dan Kuantitas Buku Cerita Anak dari Sabang sampai Merauke: Kebijakan, Kegiatan dan Inovasi Daerah’ pada Juni 2022 menyampaikan, buku anak harus mengutamakan unsur yang menghibur (entertainment value), sehingga menyenangkan bagi anak.

“Maka, membagikan buku saja tidak cukup, tetapi butuh lebih banyak upaya lainnya, seperti pelibatan guru di sekolah, perpustakaan, penyedia buku bacaannya, dan banyak lagi,” ujar Mendikbudristek.

Selaras dengan pernyataan Nadiem, Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kemdikbudristek, Anindito Aditomo, mengatakan, kriteria buku berkualitas adalah buku bacaan yang menarik.

“Buku bacaan yang membuat anak terdorong mengambil buku tersebut dan tenggelam dalam dunia imajinasi mereka,” tutur Anindito.

Menurut Anindito, hal itu menjadi fondasi yang sangat penting bagi tercapainya profil pelajar Pancasila dan pembelajar sepanjang hayat yang bisa berpikir merdeka.

Siswa, guru, pelaku perbukuan, dan publik dapat mengakses berbagai produk-produk, regulasi, dan kebijakan terkait perbukuan melalui platform digital SIBI pada tautan buku.kemdikbud.go.id. (***)

Related posts