
JAKARTA (Suara Karya): Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) meminta Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemdikbudristek) membatalkan pelaksanaan asesmen nasional (AN), yang rencananya digelar September-Oktober 2021. Alasannya, di masa itu, pandemi covid-19 di Indobesia belum berakhir.
Hal itu dikemukakan Kepala Bidang Advokasi P2G, Iman Zanatul Haeri dalam siaran pers, Kamis (29/7/21).
Seperti diberitakan sebelumnya, Kemdikbudristek akan menggelar asesmen nasional (AN) pada September-Oktober 2021. AN dilakukan sebagai pemetaan kualitas pembelajaran di sekolah. AN terdiri dari Asesmen Kompetensi Minimum (AKM), Survei Karakter dan Survei Lingkungan Belajar.
Hasil AN nantinya hanya berupa skor kolektif di tingkat sekolah dan daerah. Karena, hasil akhir dari AN murni untuk perbaikan mutu pembalajaran. Kemdikbudristek menjamin tak ada konsekuensi apa pun bagi peserta AN.
Berikut alasan sekaligus rekomendasi P2G terkait pelaksanaan AN. Seperti dikemukakan anggota Dewan Pakar P2G, Suparno Sastro, pandemi telah menimbulkan ‘learning loss’ bagi siswa SD di sejumlah daerah di Indonesia, seperti Aceh, Jawa Timur, Maluku Utara, NTB, NTT dan Papua Barat.
Hal itu terjadi karena pembelajaran jarak jauh (PJJ) tidak berjalan efektif. Karena Indonesia memiliki ketimpangan digital antar wilayah. Sehingga tidak semua siswa dapat melaksanakan PJJ sebagaimana yang diharapkan.
“Tak hanya ketimpangan digital, banyak siswa kita juga tak punya perangkat TIK seperti gawai, komputer atau laptop. Data Kemdikbudristek menunjukkan ada sekitar 20 persen siswa dan guru sekitar 22,8 persen yang tak punya perangkat TIK,” tuturnya.
Menurut Suparno, Permendikbud No 17 tahun 2021 tentang Asesmen Nasional pada pasal 5 ayat 4 justru menambah ketimpangan itu menjadi diskriminasi baru bagi siswa. Karena prasyarat AN harus dilaksanakan di tempat dengan akses internet.
“Realitanya ada sekitar 120 ribu SD yang belum punya TIK (komputer) minimal 15 paket. Termasuk 46 ribu sekolah yang sama sekali tak punya akses internet, bahkan aliran listrik. Belum ditambah kualitas sinyal internet yang buruk di beberapa wilayah,” katanya.
Kondisi itu, lanjut Suparno, jadi salah satu alasan pelaksanaan AN belum dibutuhkan saat ini. Ada prioritas lain yang lebih mendesak untuk dibenahi.
“P2G berharap ada ‘grand strategy’ dari Kemdikbudristek untuk mengantisipasi dan menanggulangi semua itu. Jangan kondisinya menimbulkan bencana demografi yang kita tanggung di masa depan,” tuturnya.
Ditambahkan, jika tujuan AN untuk memotret kualitas pendidikan nasional termasuk di dalamnya ekosistem sekolah, sebenarnya Kemdikbudristek sudah punya datanya. Rapor internasional PISA menunjukkan jika kompetensi siswa Indonesia sangat rendah dalam tiga aspek, yaitu literasi, numerasi dan sains.
“Indonesia ada di bawah rata-rata skor negara OECD, bahkan masuk ranking lima dari bawah. Begitu pun hasil rapor nasional seperti dalam Asesmen Kompetensi Minimum Indonesia (AKSI), skor siswa kita untuk literasi, sains dan matematika juga masih di bawah rata-rata alias rendah.
“Jika AN tetap dipaksakan di masa pandemi ini, maka hasilnya juga berpotensi sama dengan hasil AKSI dan PISA sebelumnya. Bahkan bisa lebih buruk lagi,” ucapnya.
Kepala Bidang Advokasi P2G, Iman Zanatul Haeri menjelaskan, hasil Survei Karakter dalam AKSI. Sebenarnua Survei Lingkungan Belajar setiap tahun dibuat Kemdikbudristek untuk diisi sekolah melalui format Evaluasi Diri Sekolah (EDS) dan Peta Mutu Pendidikan (PMP).
“Survei Karakter dan Lingkungan Belajar nantinya juga akan bernasib sama, karena diisi oleh sekolah, mereka berlomba mengisi jawaban dengan hal yang positif agar sekolah mereka dilabeli baik oleh Kemdikbudristek,” tutur Iman.
Alasannta, sekolah dan Dinas Pendidikan (Pemda) tak mau menggadaikan nama baik sekolahnya di mata pemerintah pusat. Karena hanya sekedar survei, ya isi saja dengan jawban yang baik-baik, begitu prinsipnya.
Karena itu, lanjut Iman, Survei Lingkungan Belajar dan Survei Karakter tidak akan memotret secara komprehensif dan otentik ekosistem sekolah. Sepanjang metode yang digunakan Kemdikbudristek seputar itu-itu saja.
Menurut Iman, dana AN sebaiknya dialokasikan bagi kebutuhan mendasar pendidikan. Terutama di masa pandemik covid-19 seperti ini. Kemdikbudristek mengalokasikan sekitar Rp1,48 Triliun untuk AN. Lebih baik anggaran sebesar itu direalokasikan untuk membantu PJJ agar berkualitas dan mengurangi ketimpangan digital di banyak daerah.
“Anggaran digelontorkan sangat fantastis, untuk program AN yang tidak mendesak dilakukan di masa pandemi,” kata Iman menegaskan. (Tri Wahyuni)