Kontestan Pemilu Jangan Terjebak Demagogi dan Metafora Negatif

0

JAKARTA (Suarakarya): Kontestan Pemilu, baik para calon anggota badan-badan legislatif (caleg) di pusat dan daerah, maupun capres-cawapres harus mendidik rakyat, jangan terjebak dalam demogogi dan metafora negatif. Kontestan pemilu memiliki tanggungjawab untuk mengantar rakyat agar semakin dewasa dalam berpolitik. Untuk itu, rakyat jangan dicekoki dengan demagogi dan metafora-metafora negative.

Demikian dikemukakan pengamat politik dari Universitas Bung Karno Ade Reza Hariadi dalam diskusi publik bertema “Meningkatkan Partisipasi Politik Masyarakat Di Tengah Gesekan Kepentingan Pemilu 2019″, di Jakarta, Senin (12/11/2018).

Dalam diskusi yang diselenggarakan Lembaga Kajian dan Pengembangan Partisipasi Masyarakat (LKPPM) itu tampil juga sebagai pembicara anggota KPU Jakarta Pusat Wahyu Dinata dan Ketua GP. Ansor Jakarta Pusat Ahmad Fadli.

Ade mengatakan, waktu menjelang pelaksanaan pemilu serentak 2019 ini merupakan saat yang tepat bagi para kontestan untuk ambil peran strategis mendewasakan konstituen dalam berpolitik. Dia memprediksikan dalam Pemilu mendatang itu akan diikuti lebih dari 80 persen pemilih yang terdaftar dalam daftar pemilih tetap (DPT).

“Saya termasuk yang optimis bahwa angka partisipasi pemilih akan naik. Selain karena instrumen penyelenggara Pemilu yang semakin bertambah jumlahnya. Saya lihat juga dari antusiasme dari para kontestan untuk menarik simpati publik juga semakin dinamis,” kata Ade menjawab Suarakarya.co.id sebelum diskusi dimulai.

Menurut Ade, partisipasi rakyat dalam pemilu akan tinggi apabila para kontestan mampu melakukan pendidikan politik yang baik, tidak terjebak dalam demagogi dan metafora negatif.

“Itu harus dihindari karena tidak mendidik,” tuturnya dalam diskusi yang dihadiri Direktur Eksekutif LKPPM Ahmad Rouf.

Ade mengingatkan, para kontestan harus dapat memanfaatkan tahapan sosialisasi dan kampanye ini untuk mempromosikan ide-ide cerdas sebagai sarana dalam mengatasi masalah-masalah publik. Sehingga, masyarakat dapat semakin tercerahkan dan kaya referensi dan mereka bisa bermigrasi dari pemilih tradisional menjadi pemilih yang semakin rasional.

Sementara itu, anggota KPU Jakarta Pusat Wahyu Dinata mengatakan, partisipasi politik dalam pemilu itu penting. Dia mengemukakan, KPU memiliki tiga tagline, yaitu antihoaks, anti-SARA dan antipolitik uang.

“Ketiga tagline kampanye ini penting untuk disosialisasikan bahwa pemilih itu harus cerdas dalam menyikapi informasi yang berkembang, sehingga dia tidak terpengaruh terhadap isu-isu yang tidak benar,” katanya.

Dalam kampanye anti-SARA, misalnya, diserukan bahwa dalam memilih pemimpin itu harus mengedepankan program kerja, visi, misi dan rekam jejak para calon, bukan berdasarkan isu-isu suku. agama, ras, dan antargolongan (SARA). Sedangkan, antipolitik uang disosialisasikan dengan pemahaman bahwa pemilih harus dimulai dengan sesuatu yang bersih.

“Tidak ada namanya intervensi uang dalam kepemilihan seseorang dalam proses pemilu 2019,” ujarnya Wahyu Dinata.

Ketua GP. Ansor Jakarta Pusat Ahmad Fadli mengharapkan, Pemilu 2019 dapat berjalan dengan aman, lancar dan damai. Dia telah menginstruksikan jajarannya sampai tingkatan ranting bahwa GP Ansor agar dapat mengawal proses demokratisasi di Indonesia.

“Silahkan memilih sesuai aspirasi masing-masing tetapi tetap mengedepankan etika, silaturahmi, dan tidak ada ujaran kebencian,” katanya.

Segenap anggota GP Ansor akan berpartisipasi secara aktif, baik sebagai pemilih maupun sebagai pemantau.

“Kami peduli melakukan pemantauan agar tidak terjadi kecurangan, baik di pileg maupun pilpres,” katanya tegas.

Dia juga meminta para pengurus dan anggota GP. Ansor agar aktif menyadarkan dan mengajak masyarakat untuk semangat dalam partisipasi politik, tidak ada yang golput, tidak ada hoaks dan tidak ada ujaran-ujaran kebencian. (Mistqola)