JAKARTA (Suara Karya): Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) saat ini sedang menghadapi tantangan berat terkait elektabilitas pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden nomor urut 3, Ganjar Pranowo dan Mahfud MD.
Hasil survei menunjukkan tren stagnasi bahkan penurunan, membuat PDIP dan pasangan ini berada dalam posisi yang tidak menguntungkan menjelang pemilihan umum 2024 mendatang.
Untuk menghadapi situasi ini, PDIP dan tim kampanye Ganjar-Mahfud sepertinya telah mulai merumuskan strategi alternatif untuk mempertahankan peluang mereka dalam kontestasi politik ini.
Salah satu strategi yang diusung adalah upaya untuk menurunkan suara lawan jika meningkatkan suara diri sendiri menjadi tantangan.
Pendekatan ini mencerminkan dinamika politik yang kompetitif, di mana kemenangan tidak hanya bisa diraih dengan meningkatkan popularitas sendiri tetapi juga dengan mengurangi daya tarik kompetitor.
Salah satu langkah yang ditempuh adalah dengan menggerakkan dukungan dari akademisi partisan yang telah lama berpihak kepada Ganjar-Mahfud dan PDIP.
Akademisi-akademisi ini dimobilisasi untuk bersuara dan menyatakan sikap yang secara tidak langsung bertujuan menarik simpati publik dan menciptakan narasi yang menguntungkan bagi Ganjar-Mahfud.
Contohnya adalah deklarasi Kebangsaan yang dilaksanakan di Rotunda, Universitas Indonesia pada tanggal 2 Februari 2024.
Meskipun deklarasi tersebut diklaim sebagai pernyataan dari sivitas akademika UI, sebenarnya diinisiasi oleh kelompok tertentu dari kalangan akademisi yang memiliki keberpihakan politik.
Beberapa nama seperti Prof. Harkristuti Harkrisnowo, Suzie Sudarman, dan Reni Suwarso adalah contoh akademisi yang secara terang-terangan mendukung Ganjar-Mahfud dan PDIP.
Prof. Harkristuti Harkrisnowo terlihat sejak awal mendukung Mahfud Md, yang merupakan Cawapres nomor urut 3. Sementara Suzie Sudarman juga secara terang-terangan berpose salam 3 jari bahkan hadir dalam kampanye Ganjar-Mahfud.
Reni Suwarso, seorang Dosen dari FISIP UI, terlihat seolah netral namun selalu memberikan dukungan terhadap langkah politik PDIP. Tindakan ini adalah hak demokrasi setiap warga negara, namun dapat memunculkan perdebatan mengenai representasi dan netralitas sivitas akademika.
Sebagai contoh, ketika beberapa Civitas UGM menyampaikan Petisi Bulaksumur yang mengatas namakan UGM, beberapa tokoh atau kader senior dari PDIP seperti Bambang Praswanto terlihat berfoto dalam petisi tersebut pada tanggal 2 Februari 2024.
Hal ini terungkap dari akun yang diunggah oleh akun @G4b0nGOKU yang membagikan foto pasca petisi tersebut pada 2 Februari 2024.
“LANJUT MAS, ayo laporkan … Dibalik PETISI UGM Klaim memakai nama UGM , itu segelintir oknum aktivis d Pusat Studi Pancasila yang berafiliasi dengan PDIP .
Ada SALAM TIGA JARI , satu lagi yg pake baju batik ( Bambang Praswanto ) mantan Ketua DPD PDIP DIY . Ayo TERIAK LAGI MAS 🫰,” tulis akun @G4b0nGOKU.
Keberpihakan politik di lingkungan akademik dapat menimbulkan pertanyaan tentang sejauh mana kegiatan akademis dapat dipisahkan dari keberpihakan politik, terutama dalam konteks pemilihan umum yang sangat polarisasi.
Kampus seharusnya menjadi tempat netral di mana politik praktis seharusnya tidak masuk ke lingkungan tersebut.
Namun, PDIP dan pasangan Ganjar-Mahfud jelas berada dalam posisi yang menuntut adaptasi dan inovasi strategis untuk mempertahankan peluang mereka.
Dengan memanfaatkan dukungan dari akademisi partisan, mereka berharap bisa mengubah dinamika pemilihan yang saat ini tidak menguntungkan. Langkah ini, bagaimanapun, membawa risiko tertentu terkait dengan persepsi publik terhadap integritas akademisi dan politik. (Pram)