
JAKARTA (Suara Karya): Anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Retno Listyarti menyebut ada 5 alasan anak putus sekolah di masa pandemi corona virus disease (covid-19). Hal itu merupakan hasil pemantauannya di 5 kota sejak Januari hingga Februari 2021.
“Lima alasan anak putus sekolah karena menikah, bekerja, menunggak iuran SPP, kecanduan game online dan meninggal dunia,” kata Retno Listyarti dalam siaran persnya, Sabtu (6/3/2021).
Ia menambahkan, daerah pantauan itu meliputi Kota Bandung, Kota Cimahi, Kota Bengkulu, Kabupaten Seluma dan Provinsi DKI Jakarta. Pemantauan dilakukan baik secara luring maupun daring melibatkan guru dan kepala sekolah dari jaringan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI).
“Pandemi covid-19 sudah berlangsung lebih dari 1 tahun di Indonesia. Pemerintah seharusnya telah memetakan kondisi pendidikan di masing-masing daerah, agar jumlah siswa yang putus sekolah tak semakin banyak,” ujarnya.
Retno mengungkapkan, siswa putus sekolah karena menikah jumlahnya mencapai 33 orang di kabupaten Seluma, Kota Bengkulu dan Kabupaten Bima. Rata-rata siswa yang menikah berada di kelas XII, yang beberapa bulan lagi ujian kelulusan sekolah.
“Karena masih PJJ, mayoritas siswa menikah tanpa sepengetahuan pihak sekolah. Wali kelas atau guru Bimbingan Konseling (BK) baru tahu setelah kunjungan ke rumah siswa, karena lama tidak ikut PJJ lagi.
“Angka 33 itu terbilang cukup tinggi. Di Buton, hari ini dilaporkan ada perkawinan antara anak usia 14 tahun dan 16 tahun. Kondisi ini akan menambah jumlah anak putus sekolah karena menikah,” ujarnya.
Terkait anak putus sekolah karena dipaksa orangtua bekerja, Retno menyebut ada 2 kasus. Satu kasus terjadi di Cimahi yang bekerja sebagai tukang bangunan. Satu lagi kasus di Jakarta, siswa dipaksa membantu usaha percetakan milik orangtuanya karena sudah tak sanggup menggaji karyawan.
Untuk kasus siswa yang menunggak SPP, Retno menyebut angkanya cukup tinggi. Dari hasil pengaduan orangtua ke KPAI sejak Maret 2020 hingga Februari 2021 tercatat ada 34 kasus. Hampir 90 persen kasus terjadi di sekolah swasta. Dan 75 persen berada di jenjang SMA/SMK.
“Rata-rata SPP yang belum dibayarkan selama 6-11 bulan. Faktor ekonomi keluarga yang terpuruk selama pandemi, jadi alasan penunggakan tersebut,” ucapnya.
Pihak sekolah yang terdampak masalah tersebut, lanjut Retno melayangkan surat tagihan dengan harapan orangtua bisa mengangsur tunggakan. Karena tak mampu, sebagian besar orangtua memilih untuk mengeluarkan anaknya keluar dari sekolah,” ujarnya.
Ada pengaduan dari orangtua di Kota Pekanbaru, yang mana ketiga anaknya di sekolah swasta sudah tidak bisa mengakses pembelajaran daring. Mereka dikeluarkan dari grup whatsApp kelas, padahal ada satu anaknya yang akan ujian kelulusan sekolah.
“Kasus itu sedang ditangani KPAI, pihak sekolah dan Dinas Pendidikan kota Pekanbaru. Tahapan selanjutnya adalah mediasi demi pemenuhan hak atas pendidikan ketiga anak tersebut,” tuturnya.
Bahkan, lanjut Retno sejumlah sekolah melakukan penahanan ijazah anak yang lulus pada 2020 karena belum melunasi pembayaran SPP. Ada yang tidak dikeluarkan tetapi tidak diberi akses PJJ dan Try Out (TO). Padahal siswa tersebut tinggal menunggu ujian kelulusan.
“Kasus semacam itu berasal dari Jakarta, Bandar Lampung, Makasar, Denpasar, Pekanbaru, kota Tangerang Selatan dan Cirebon,” ujarnya.
Retno menambahkan, saat dirinya melakukan pengawasan di kota Cimahi, ada 2 anak kelas 7 SMP berhenti sekolah karena kecanduan game online, satu diantaranya berhenti sementara (cuti) selama 1 tahun untuk proses pemulihan secara psikologi.
“Fakta lain yang mengejutkan adalah anak-anak yang pagi hari tidak muncul di PJJ online, ternyata masih tidur karena main game online hingga menjelang subuh,” ucapnya.
PJJ secara online yang mensyaratkan alat daring dan kuota internet ternyata berdampak pada anak-anak kecanduan “game online”. Hal ini bisa terjadi karena lemahnya pengawasan orangtua dan upaya anak mengalihkan kejenuhan selama pandemi akibat di rumah saja.
Menurut Retno, kemungkinan besar anak kecanduan game online selama BDR (Belajar Dari rumah) meningkat selama pandemi. Jika rata-rata satu kabupaten/kota ada minimal 2 kasus saja, maka total di seluruh Indonesia bisa mencapai angka ribuan.
Alasan kelima anak putus sekolah, lanjut Retno, siswa meninggal dunia baik karena bencana alam, kecelakaan kendaraan bermotor hingga penyebab lainnya. (Tri Wahyuni)