
JAKARTA (Suara Karya): Dirjen Pendidikan Vokasi (Diksi) mengingatkan pimpinan perguruan tinggi vokasi saat merancang kurikulum D-4 atau sarjana terapan untuk fokus pada karakter, selain kompetensi keahlian. Karena yang dibutuhkan industri adalah pemimpin di lapangan.
“Karena itu, lulusan D-4 harus kompeten baik secara kognitif, keterampilan non teknis (soft skills) dan berintegrasi,” kata Dirjen Diksi Wikan Sakarinto dalam webinar bertajuk “Peningkatan Prodi D-3 ke D-4”, Selasa (16/2/21).
Wikan menekankan pentingnya beberapa keterampilan non teknis bagi lulusan D-4 seperti kemampuan komunikasi, kepemimpinan dan kerja sama. Ia pun memastikan proporsi pembelajaran pada pendidikan vokasi tetap 60 persen praktek dan 40 persen teori.
Wikan sekali lagi mengimbau pemimpin kampus vokasi untuk memastikan bahwa keluaran kampus vokasi itu tidak hanya makalah (paper) penelitian, tetapi juga ada produk nyata.
“Karena itu, input dari awal menjadi penting. Kalau tidak punya minat atau ‘passion’, kurikulum.D-4 sebagus apapun tidak akan membuat sukses lulusannya. D-4 harus giat promosi, rebranding dan edukasi kepada calon mahasiswa, orang tua dan industri tentang betapa bagusnya pendidikan vokasi,” katanya.
Wikan Sakarinto mendorong para pemimpin kampus vokasi untuk merancang kurikulum D-4 bersama industri selaku calon pengguna lulusan. Dengan demikian, lulusan vokasi semakin dikenal, karena perguruan tinggi ikut mengedukasi masyarakat tentang pendidikan vokasi.
“Mari kita buat pendidikan vokasi lebih baik. Jangan hanya sekadar asal lulus atau sekadar kasih ijazah D-4 atau ijazah S-1 Terapan. Lulusan D-4 harus punya nilai tambah,” ucapnya.
Wikan berkeinginan ada 50 persen mahasiswa D-4 di masa depan yang berprestasi dalam ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek), olahraga, seni dan debat. Mahasiswa didorong agar tak sekadar mengejar indeks prestasi kumulatif (IPK).
Ditegaskan, perbedaan utama D-4 dan S-1 adalah porsi praktik yang lebih besar ketimbang teori, walaupun kedua jalur tersebut mewajibkan peserta didik merampungkan 144 sistem kredit semester (SKS).
“Lulusan D-4 memiliki kelebihan yaitu perolehan project protfolio, serta pengasahan keterampilan non teknis dan keterampilan teknis yang kuat, selain ijazah dan transkrip,” kata Wikan.
Ditambahkan, dalam piramida dunia kerja, D-4 sebenarnya lebih banyak dibutuhkan daripada S-1. Namun, D-4 dan S-1 sama labelnya dalam KKNI (Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia) yaitu level 6 KKNI.
Wikan menambahkan, kebijakan pendidikan vokasi di masa depan tidak diarahkan untuk D-3. Fokus vokasi akan berpusat pada penguatan SMK, D-2 jalur cepat (fast track), D-4, magister terapan, dan doktor terapan.
Hal senada dikemukakan Presiden Direktur PT Astra Graphia, Hendrix Pramana. Katanya, industri butuh talenta-talenta yang sesuai dengan inti bisnis. PT Astra Graphia merupakan anak perusahaan PT Astra Internasional yang memiliki 33 cabang operasi dan 93 poin layanan dari Sabang sampai Merauke.
“Dalam mencari talenta, kami melihat tiga hal, yaitu hard skills atau kemampuan terkait industri spesifik tersebut. Dalam dunia IT, kami butuh orang yang menguasai kecerdasan buatan, pembelajaran mesin (machine learning), komputasi awan (cloud computing),” ujarnya.
Menurut Hendrix, pengetahuan itu dibutuhkan untuk mendukung peran teknologi informasi di perusahaan, tetapi itu tidak cukup. Dibutuhkan talenta dengan penguasaan keterampilan non teknis mumpuni seperti kemampuan memecahkan masalah yang kompleks dan berpikir kritis untuk menjawab tantangan serta memberi solusi kepada pelanggan.
Aspek terakhir yang amat dibutuhkan adalah sikap dan nilai-nilai yang berkaitan dengan integritas. Hal itu termasuk pentingnya rasa ingin tahu, adaptasi, dan orientasi terhadap pelayanan. Ketiga aspek itu saling berkaitan dan dibutuhkan secara seimbang.
Ketua Forum Direktur Politeknik Negeri se-Indonesia (FDPNI), Zainal Arief mengemukakan, masalah yang ditemukan pada keterserapan lulusan ada dua yaitu pengangguran terstruktur dan pengangguran gesekan.
“Pengangguran terstruktur adalah keadaan di mana lapangan kerja yang tersedia terbatas dan ada pencari kerja yang belum mendapat kerja. Solusinya adalah menambah investasi dan menciptakan lapangan kerja baru,” kata Zainal.
Menurut Zainal, hal menantang dari transformasi pendidikan vokasi adalah pengangguran gesekan. Dimana kualifikasi pencari kerja tidak sesuai dengan kebutuhan lapangan kerja. Masalah itu dapat diatasi lewat penyelerasan pendidikan dengan dunia kerja.
Untuk lulusan PTV yang belum terserap di pasar kerja, lanjut Zainal, peran transformasi pendidikan vokasi adalah menutup ketimpangan dari politeknik dengan industri lewat penguatan hubungan dengan DUDI. Dengan demikian, talenta itu sejalan dengan kebutuhan industri. (Tri Wahyuni)