
JAKARTA (Suara Karya): Indonesia membutuhkan kurikulum bersifat adaptif, guna mengatasi krisis pembelajaran yang terjadi akibat pandemi covid-19 yang berkepanjangan. Kurikulum tersebut harus mengedepankan karakter dan kompetensi dasar anak.
“Kurikulum Merdeka yang bersifat adaptif ini diharapkan dapat mengatasi krisis pembelajaran di Tanah Air,” kata Kepala Badan Standar, Kurikulum dan Asesmen Pendidikan (BSKAP), Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemdikbudristek), Anindito Aditomo dalam webinar tentang kurikulum, Senin (4/4/22).
Ditambahkan, penerapan Kurikulum Merdeka diharapkan berdampak pada terciptanya generasi adaptif yang mampu bertahan menghadapi perubahan zaman dengan ‘kekuatan’ mereka sendiri.
“Dengan pola pikir yang adaptif, apapun masalah yang dihadapi bisa diatasi secara mandiri. Karena mereka bisa berdiri di atas kekuatannya sendiri,” ucap Anindito.
Dewan Pembina PGRI, Dudung Nurullah Koswara mengemukakan, implementasi Kurikulum Merdeka memberi perubahan besar terhadap guru dan siswa. Dengan mengedepankan proses pembelajaran yang esensial dan minat bakat, proses itu akan menjadi sebuah interaksi yang sesuai dan menciptakan ruang pembelajaran yang lebih positif.
“Dampak atas implementasi Kurikulum Merdeka adalah membuat proses pembelajaran di ruang kelas menjadi lebih merdeka. Hal itu akan melahirkan masyarakat yang berkembang secara positif dan lebih merdeka di masa mendatang,” ujarnya.
“Kurikulum Merdeka memberi proses pewarisan melalui proses pembelajaran yang lebih baik dan menarik,” ucap Dudung.
Ditambahkan, Kurikulum Merdeka menciptakan ruang terbuka belajar yang membuat karakteristik dan kompetensi didiagnosa sehingga proses belajar bukan pukul rata. Anak bukan bagian dari industri pendidikan.
Sementara itu, Guru Besar FKIP Unika Widya Mandala Surabaya, Anita Lie ikut mengapresiasi berbagai episode Merdeka Belajar, termasuk Kurikulum Merdeka. Langkah itu dapat mengubah dan mentransformasikan sistem pendidikan menjadi lebih baik, karena setiap episode Merdeka Belajar bergerak secara sinergis sesuai fokusnya masing-masing.
“Kurikulum Merdeka saling bersinergi dengan pengembangan kompetensi guru dan platform Merdeka Mengajar,” katanya.
Lewat program Guru Penggerak dan Pendidikan Profesi Guru (PPG), menurut Anita Lie, Kemdikbudristek menunjukkan komitmen untuk bersama-sama mendampingi para guru agar menjadi guru yang lebih kompeten serta dapat berkembang terus ke depannya.
“Lahirnya guru yang otonom, cerdas dan dapat berpikir kritis akan mengembangkan Kurikulum Merdeka menjadi lebih baik,” ujarnya.
Panitera Umum Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa, Ki Saur Panjaitan XIII menambahkan, implementasi Kurikulum Merdeka diejawantahkan oleh Taman Siswa Ki Hajar dalam bentuk saling menghargai keragaman budaya Indonesia sebagai kebudayaan nasional.
“Jika kurikulum dianalogikan dengan budaya, maka budaya kita sangat banyak. Namun, bukan untuk membeda-bedakan tetapi untuk memperkuat dan memperkokoh menjadi kebudayaan nasional,” pungkas Ki Saur.
Sebelum mengakhiri diskusi, Kepala BSKAP berharap perubahan kurikulum bukan menjadi tujuan, tapi menjadi cara atau ‘kendaraan’ untuk mencapai tujuan pendidikan, yaitu perubahan kualitas pembelajaran di Indonesia.
“Visi pendidikan yang perlu disepakati bersama adalah pendidikan yang dapat mengantarkan peserta didik menjadi manusia merdeka, mandiri, dengan karakter dan kompetensi yang mencerminkan Profil Pelajar Pancasila,” kata pria yang akrab dipanggil Nino tersebut.
Informasi mengenai Kurikulum Merdeka dapat ditemukan pada laman kurikulum.kemdikbud.go.id . Selain itu, para pendidik juga dapat menyimak video pengenalan Kurikulum Merdeka melalui kurikulum.gtk.kemdikbud.go.id. (Tri Wahyuni)