Suara Karya

Kusta Masih Mengancam, Indonesia Peringkat Ke-3 di Dunia

Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P), Kementerian Kesehatan, Achmad Yurianto. (Suarakarya.co.id/Tri Wahyuni)

JAKARTA (Suara Karya): Indonesia ternyata berada di peringkat ke-3 sebagai negara dengan penderita kusta terbanyak di dunia, setelah India dan Brazil. Jumlahnya diperkirakan mencapai 18 ribu orang yang tersebar di 146 kabupaten/kota.

“Penanganan kusta sempat melambat selama pandemi corona virus disease (covid-19), karena kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB),” kata Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P), Kementerian Kesehatan, Achmad Yurianto dalam keterangan pers secara virtual, Selasa (1/9/20).

Sebelumnya Achmad Yurianto yang pernah menjabat sebagai juru bicara di Satuan Tugas Penanganan Covid-19 itu meluncurkan modul Pelatihan Jarak Jauh Pencegahan dan Pengendalian (PJJ P2) Kusta. Modul tersebut dibuat untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan wakil supervisor (Wasor) kusta di Provinsi dan Kabupaten/Kota di era kebiasaan baru.

“Modul itu akan mempermudah transisi dari model pelatihan tatap muka ke jarak jauh. Karena itu, peru dilakukan penyesuaian pada beberapa komponen seperti kurikulum dan modul pelatihan, panduan pelatihan, tutor dan peserta serta penyelenggara,” katanya.

Data Sistem Informasi Penyakit Kusta (SIPK) per 25 Agustus 2020 menunjukkan, masih ada 146 Kabupaten/Kota belum mencapai eliminasi kusta. Delapan provinsi yang belum eliminasi kusta adalah Papua Barat, Papua, Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat dan Gorontalo.

Sementara itu, jumlah penderita kusta yang terdaftar ada sekitar 18 ribu. Mereka tersebar di sekitar 7.548 desa/kelurahan/kampung, dengan cakupan wilayah kerja di 1.975 Puskesmas yang tersebar di 341 kabupaten/kota di Indonesia.

“Data itu menunjukkan, provinsi dan kabupaten/kota yang sudah mencapai eliminasi kusta, ternyata masih tetap memiliki kasus kusta. Butuh kerja keras dari para pihak, agar penderita kusta mau berobat ke layanan kesehatan sehingga tidak menularkan penyakitnya ke orang lain,” tuturnya.

Apalagi di masa pandemi, lanjut Yurianto, saat kebijakan PSBB diterapkan di berbagai kota, petugas kesehatan lapangan tak dapat melakukan pencarian penderita kusta. Sementara penderita kesulitan berobat karena tidak ada akses transportasi selama PSBB.

“Semoga tidak terjadi peningkatan kasus kusta di Indonesia selepas pandemi ini. Karena penderitanya tetap rajin berobat, sehingga makin banyak yang sembuh dan tidak menularkan kepada orang lain,” ucapnya.

Melihat spesifikasi dan karakteristik penyakit kusta yang khas, Yurianto menambahkan, sangat diperlukan pemahaman dan kemampuan teknis petugas kesehatan di lapangan yang adekuat, serta kemampuan diagnosis yang akurat.

“Lewat modul PJJ P2 kusta ini, kami harap Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota dapat menerapkan pelatihan di wilayahnya masing-masing sebagai upaya penguatan SDM dalam penanggulangan kusta,” ujarnya.

Target dari pelatihan, disebutkan, selain pencapaian eliminasi kusta di Indonesia adalah membuat sumber daya manusia (SDM) berkualitas. Bagaimana orang sehat tidak tertular, sementata penderita kusta dapat dikendalikan agar tidak menularkan serta tidak menimbulkan kecacatan.

Tanpa penanganan yang tepat, lanjut Yurianto, kusta dapat menimbulkan kecacatan yang menetap. Kondisi itu membuat penderita disisihkan, sehingga berdampak pada permasalahan ekonomi dan diskriminasi sosial.

“Kusta sebenarnya bukan persoalan di Indonesia. Karena ada sekitar 200 ribu orang di dunia terdiagnosa kusta setiap tahunnua. Dari jumlah itu, sekitar 18 ribu penderita ada di Indonesia,” kata Yurianto menandaskan. (Tri Wahyuni)

Related posts