Suara Karya

Lebaran 2018 Momen Berkumpulnya Warga Kampung Akuarium 

JAKARTA (Suara Karya): Udara masih sejuk saat gema takbir penanda berakhirnya bulan puasa atau awal Syawal 1439 Hijriah, Jumat (15/6) pagi, berkumandang di bekas permukiman padat penduduk, Kampung Akuarium, Penjaringan, Jakarta Utara.

Mayoritas warga masih berada dalam selter berukuran 3 x 5 meter persegi yang berdiri di lahan kampung yang diratakan 2 tahun lalu mempersiapkan kebutuhan mereka masing-masing untuk melaksanakan Salat Id.

Pagi hari itu, puing-puing bekas bangunan kampung sudah tidak lagi menjadi pemandangan dominan di Kampung Akuarium.

Tanah tampak rata dan lapisan aspal yang dihiasi beberapa pohon yang baru ditanam menggantikan pemandangan 2 tahun ke belakang setelah penggusuran era Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama. Pada saat itu puing bangunan bertebaran dan warga tinggal di rumah seadanya.

Beralaskan karpet yang dikombinasikan dengan terpal seadanya, warga Kampung Akuarium di selter Blok A, B, dan C bersama beberapa warga Kampung Akuarium dari luar tempat penampungan dan warga lainnya, mengikuti Salat Id dengan khidmat di lapangan depan Musala Al Ma’mur yang baru rampung pada bulan Mei lalu di lingkungan selter.

Selepas Salat Id, seluruh warga Kampung Akuarium hanyut dalam suasana keceriaan Lebaran. Ada yang bermaaf-maafan saling mengunjungi antartetangga di selter, makan bersama peganan khas lebaran, seperti ketupat dan opor,, hingga berswafoto bersama keluarga besarnya yang sengaja berkumpul di lokasi tersebut.

“Alhamdulillah, saya diberikan nikmat berkumpul bersama saat Lebaran tahun ini, bukan hanya warga yang masih bertahan di sini, melainkan juga dengan warga Akuarium yang di luar beserta keluarganya yang hatinya masih tertambat di sini,” kata pengurus Musala Al Ma’mur Ujang Jasimin.

Perkembangan Dengan berkumpulnya sebagian warga Kampung Akuarium pada saat Lebaran 2018, dinilai oleh para warga merupakan titik balik mereka dalam pencarian hak untuk tinggal di lokasi tersebut.

“Pada tahun ini memang menjadi titik balik warga setempat yang ditandai dengan selesainya pembangunan shelter pada bulan Maret dan rampungnya musala pada bulan Mei,” kata Koordinator Wilayah Kampung Akuarium Dharma Diani yang juga menitikan air mata saat ditemui usai shalat id Selain itu, pengembalian kartu identitas kependudukan mereka. “Dengan itu semua, saya dan warga lainnya seperti diakui lagi sebagai manusia. Saya berharap ke depannya kondisi warga lebih baik lagi,” kata Dharma Diani.

Titik balik tersebut juga dirasakan oleh Kahar (21) yang mengaku tinggal di Kampung Akuarium sejak lahir dan sejak tahun lalu dia mengontrak kamar indekos agar dekat dengan tempat kerjanya yang bergerak di bidang produksi jendela.

Pada tahun ini, dia memanfaatkan hari libur untuk bertemu kedua orang tuanya di Kampung Akuarium yang berkondisi lebih baik daripada 2 tahun belakangan.

“Ini lebaran pertama yang ada selter sejak penggusuran, kisah sedih kemarin sudah mulai dilupakan,” kata Kahar.

Bahkan, pada tahun ini, menurut dia, relatif banyak warga setempat yang bisa berlebaran di kampung halamannya masing-masing dengan tenang.

“Memang setelah digusur, banyak yang sedih dan nangis, mereka semua bingung. Oleh karena itu, tidak mudik,” ujarnya.

Kampung Akuarium bersama tiga wilayah permukiman padat lainnya di dekat Pelabuhan Sunda Kelapa (Kampung Luar Batang, Pasar Ikan, dan kawasan Pasar Ikan) memang digusur sejak 2016 oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Warga korban gusuran yang ber-KTP DKI Jakarta diarahkan untuk menempati sejumlah rumah susun.

Kala itu Pemprov DKI Jakarta menyatakan pembongkaran kawasan-kawasan tersebut sah karena lokasi itu merupakan kawasan cagar budaya dan lahan pemerintah yang dicatat oleh beberapa sumber. Nama Kampung Akuarium diambil dari sejarah lokasi tersebut yang pernah menjadi kompleks dan laboratorium penelitian berbagai jenis ikan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dengan dilengkapi akuarium kaca berukuran besar.

Setelah kompleks penelitian itu dipindahkan ke kawasan Sunter Agung pada tahun 1978, kawasan tersebut beralih fungsi menjadi asrama polisi yang juga berumur tak lama. Lambat laun pada tahun 80-an warga mulai datang dan tinggal di kawasan tersebut hingga dibongkarnya pada tahun 2016.

Rencananya, Pemprov DKI Jakarta kala itu akan menata wilayah yang satu kawasan dengan Museum Bahari tersebut menjadi kawasan wisata bahari Jakarta.

Akan tetapi, kini Pemprov DKI pada era kepemimpinan Anies Baswedan akan mengembalikan wilayah tersebut sebagai hunian penduduk. Langkah awalnya dengan mendirikan selter sebagai tempat penampungan sementara bagi warga korban gusuran itu.

Terkait dengan hal tersebut, aktivis sekaligus seniman Ratna Sarumpaet yang mengaku kerap Salat Id di Kampung Akuarium sejak penggusuran terjadi hingga saat ini. Menurut dia, pada tahun 2018 kondisi di Kampung Akuarium ada perkembangan.

“Dibanding tahun-tahun sebelumnya, ini sudah ada perkembangan dengan sudah ada selter. Walaupun demikian, saya berharap janji-janji Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kepada warga penggusuran diwujudkan,” kata Ratna.

Janji kepada warga di kawasan penggusuran tersebut, menurut Ratna, juga harus mengenai sejarah kehidupan masyarakat di kawasan tersebut yang disebutkan oleh dia “terampas” oleh rencana reklamasi dan sulit untuk dikembalikan.

“Barang kali sekarang lebih baik dengan ada rumah. Namun, sejarah dan luka mereka tidak bisa terobati begitu saja. Mengembalikan rumah bukan berarti mengembalikan kehidupan mereka, ada hal faktor lain yang harus digarap yakni kehidupan nelayan mereka harus dicapai, karena ‘kan mereka terlahir sebagai nelayan,” katanya.

Dengan perkembangan, situasi, dan kerumitan penataan di lokasi penggusuran Kampung Akuarium, pada momen Lebaran 2018 setidaknya bisa menjadi pengurang beban sejenak para warga itu sendiri yang belum tahu pasti kapan hunian permanen yang mereka impikan itu dibangun oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. (Victor)

Related posts