
JAKARTA (Suara Karya): Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim mengajak segenap masyarakat untuk menciptakan kampus merdeka dari kekerasan seksual.
“Apapun jenis dan bentuk kekerasan terhadap siapa pun harus dihapus dari lingkungan pendidikan,” kata Nadiem dalam webinar bertajuk ’16 Hari Anti Kekerasan Seksual terhadap Perempuan’ (16 Days of Activism Against Gender Violence) dan Nobar (Nonton Bareng) secara virtual, Jumat (10/12/21).
Mendikburistek menyebutkan, adanya peningkatan kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang Januari hingga Juli 2021 sekitar 2.500 kasus. Angka itu melampaui catatan pada 2020, yang 2.400 kasus.
“Peningkatan kasus dipengaruhi krisis pandemi yang merupakan fenomena gunung es, karena kasus yang tidak dilaporkan jumlahnya berlipat ganda,” ujarnya.
Karena itu, lanjut Nadiem, pihaknya menerbitkan Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi sebagai salah satu solusi pemberantasan tiga dosa besar pendidikan, yaitu intoleransi, kekerasan seksual dan perundungan (bullying).
“Saat ini kampus-kampus di seluruh Indonesia mempersiapkan pembentukan Satuan Petugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual. Diharapkan tercipta lingkungan kampus yang aman dari kekerasan seksual terhadap perempuan,” ujarnya.
Pencegahan terhadap kekerasan seksual menjadi sangat penting, karena dampak dari kekerasan seksual itu bisa menjadi jangka panjang, bahkan permanen. Serta mempengaruhi masa depan perempuan, terutama pelajar dan mahasiswa.
Pada kesempatan yang sama, Pelaksana tugas (Plt) Kepala Pusat Penguatan Karakter (Puspeka), Hendarman, mengatakan, acara Nobar Virtual dan Webinar Puncak Peringatan 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan digelar untuk menghubungkan secara simbolik antara kesadaran hukum dan hak asasi manusia.
“Kekerasan terhadap perempuan merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia, sehingga diperlukan gerak bersama oleh semua lapisan masyarakat untuk mengakhiri kekerasan seksual di semua jenjang pendidikan,” ujarnya.
Merujuk pasa hasil survei Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi (Ditjen Diktiristek) pada 2020, yang mana kekerasan seksual terjadi di semua jenjang pendidikan. Dan 27 persen dari aduan tersebut, terjadi di universitas.
“Pada 2015, sekitar 77 persen dosen menyatakan kekerasan seksual terjadi di kampus dan 63 persen dari mereka tidak melaporkan kasus kekerasan seksual ke pihak kampus,” katanya.
Guna mendukung kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan tersebut, Puspeka Kemdikbudristek menggelar Nobar Film Pendek berjudul ‘Demi Nama Baik Kampus’ produksi Puspeka. Film tersebut bercerita kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi.
Acara kemudian dilanjutkan dengan webinar yang dipandu Joce Timothy dan Nabila Ishma.
Webinar membahas isu kekerasan seksual di kampus bersama tiga narasumber, yaitu psikolog Ida Ayu Sutomo, pendamping penyintas dan konselor sebaya berbasis perspektif korban di perempuan berkisah, Ni Luh Gusti Madewanti, dan Dosen Magister Ilmu Administrasi Fisipol Universitas Muhammadiyah Jakarta, Khaerul Umam Noer.
Psikolog Ida Ayu Sutomo mengatakan, yang dibutuhkan oleh korban kekerasan seksual adalah lingkungan yang mendukung untuk menguatkan korban.
“Seperti dalam film pendek itu, kasus dapat ditangani dan berakhir baik. Karena dampak kekerasan menimbulkan trauma jangka pendek dan jangka panjang, serta bisa memunculkan rasa takut hingga tindakan bunuh diri,” ujarnya.
Ni Luh Gusti Madewanti menambahkan, jika terjadi kekerasan seksual terhadap seseorang yang dekat dengan kita, maka yang harus dilakukan adalah menghindari semakin bertambahnya kerentanan korban.
“Caranya, tidak memviralkan atau memposting atau membagikan kasus tanpa mempertimbangkan risiko yang akan dialami kembali oleh korban,” katanya.
Pendamping sebaiknya menanyakan kebutuhan korban dengan memposisikan diri sebagai sahabat, sehingga korban tidak perlu merasa khawatir. Pendamping juga bisa membangkitkan semangat korban dengan menegaskan bahwa korban tidak salah.
“Kekerasan seksual tidak akan terjadi kalau tidak ada pelaku kekerasan. Jadi yang harus disalahkan itu adalah pelaku, bukanlah korban,” katanya.
Hal senada dikemukakan Khaerul Umam Noer. Katanya, salah satu upaya pencegahan kekerasan seksual adalah mengajarkan anak untuk berkata ‘tidak’ sedini mungkin. “Jika ada dosen mengajak ke suatu tempat yang tidak umum dilakukan, mahasiswa berani menolak. Pun jika terpaksa, sebaiknya tidak datang sendiri,” ujarnya.
Dalam Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 disebutkan, semua kegiatan akademik di luar jam kerja, di luar jam kantor, atau jam kuliah harus diketahui Kepala Program Studi (Kaprodi). “Itu merupakan salah satu langkah antisipasi terjadinya tindak kekerasan yang tidak diinginkan,” katanya.
Sebagai informasi, rangkaian kegiatan dimulai sejak 25 November 2021 dengan menggelar lomba Vlog Aksi Nyata dengan tema #GerakBersama untuk mencegah dan menangani kekerasan seksual di kampus dan diikuti civitas akademika dan tenaga kependidikan di seluruh Indonesia.
Rangkaian kegiatan merupakan bagian dari Hari Internasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan hingga 10 Desember yang merupakan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional.
Nobar virtual dan webinar untuk meningkatkan pemahaman mengenai kekerasan seksual sebagai isu hak asasi manusia di tingkat lokal, nasional, regional dan internasional. Selain membentuk kesadaran masyarakat untuk berpihak pada korban kekerasan seksual.
Di akhir acara, panitia mengumumkan pemenang dari Lomba Vlog Aksi Nyata. Mereka adalah UMN Channel yang berasal dari Universitas Muslim Nusantara Al Washliyah Sumatera Utara sebagai juara pertama.
Pemenang kedua adalah Tim Universitas Mulawarman, Kalimantan Timur. Mereka adalah Meilanie Geofanni Lumingkewas, Sadam Fajri Muharram dan Narendra Lintang Samudera. Pemenang ketiga adalah Silvi Ananda Putri Devi dari Universitas PGRI Yogyakarta, Yogyakarta.
Momentum ini diharapkan dapat mengajak semua orang untuk terlibat aktif dan berkolaborasi sesuai dengan kapasitasnya dalam upaya penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan agar aman bersama dan saling menjaga. (Tri Wahyuni)