
JAKARTA (Suara Karya): Lembaga Sensor Film (LSF) mengajak masyarakat untuk menyosialisasikan Gerakan Budaya Sensor Mandiri (BSM). Gerakan tersebut menjadi penting di tengah ‘tsunami’ tontonan berbasis digital di kalangan muda.
“Masalahnya, tontonan semacam itu tak ada proses penyensoran, seperti halnya di televisi dan bioskop. Padahal, tontonan itu paling banyak diakses anak muda saat ini,” kata Ketua LSF, Rommy Fibri Hardiyanto dalam jumpa pers bertajuk Laporan Kinerja LSF 2020 dan peluncuran jingle BSM yang digelar daring dan luring dari Jakarta, Kamis (11/2/2021).
Karena itu, lanjut Rommy, LSF terpanggil untuk membuat gerakan yang diharapkan dapat membangun kesadaran kolektif masyarakat, terutama kalangan muda untuk pandai memilah dan memilih secara mandiri tontonan, sesuai dengan penggolongan usia.
“LSF akan terjun ke masyarakat guna memberi advokasi dan pendampingan dalam sosialisasi Gerakan BSM. LSF di era milenial akan mengubah posisi, yang sebelumnya menjadi penghalang antara layar dan masyarakat, kini berada dalam masyarakat untuk memberi literasi tentang film dan tayangan lain,” tuturnya.
Untuk memperkuat Gerakan BSM, Rommy menambahkan, LSF sedang menggagas pembentukan Desa Sensor Mandiri. Nantinya, desa tersebut akan menjadi contoh penerapan BSM di masyarakat.
“Kami juga buat jingle lagu bertema BSM dengan musisi Piyu Padi. Diharapkan, jingle tersebut dapat mengajak masyarakat untuk selalu menonton film sesuai dengan klasifikasi usia,” ucap Rommy yang dalam kesempatan itu didampingi jajaran pimpinan di lingkungan kerja LSF.
Ditambahkan, LSF juga akan mengajak mahasiswa untuk terlibat aktif dalam sosialisasi Gerakan BSM. Karena anak muda biasanya lebih mendengar perkataan teman sebaya, ketimbang orangtua.
“Kami sedang merancang kegiatannya apakah berbentuk LSF Goes to Campus semacam itu. Sementara ini, sosialisasi dilakukan menggunakan saluran sosial media seperti youtube dan aplikasi lain,” katanya.
Rommy menuturkan, pandemi corona virus disease (covid-19) tak membuat semangat LSF kendur. Sepanjang 2020, LSF telah menyensor 39.863 film dan iklan film. Jumlah itu meliputi film untuk layar lebar (bioskop), televisi, palwa (penjualan dan penyewaan DVD), jaringan informatika, sarana promosi, festival, kalangan terbatas dan ajang tertentu.
“Dari keseluruhan, mayoritas sensor film adalah untuk televisi, yakni 95,99 persen. Adapun film layar lebar hanya 1,40 persen dan sisanya untuk jaringan informatika.
Saat ini, LSF juga mengembangkan sistem informasi publik yang sangat mudah diakses. LSF memiliki beberapa platform media sosial, yaitu Instagram (@lsf_ri), Twitter (@lsf_ri), Facebook (lembagasensor.RI), laman www.lsf.go.id, dan kanal YouTube (Lembaga Sensor RI). Bahkan, ada pula TikTok dikemas untuk menarik perhatian kalangan milenial.
“Dengan cara itu, masyarakat dapat literasi dan pengetahuan memadai terkait film yang akan ditonton. LSF akan menayangkan kanal panduan film (movie guide) yang jadi mercusuar bagi masyarakat di tengah belantara film yang beredar melalui platform digital,” ucap Rommy.
Ditanya soal kegiatan sensor film layar lebar atau bioskop selama pandemi, Rommy mengatakan, jumlahnya hanya berkurang sekitar 50 film, dibanding sebelum pandemi dari sekitar 180 film menjadi 130 film per tahun.
“Meski bioskop banyak ditutup, pengajuan untuk sensor dari perusahaan film tetap tinggi. Saya tidak tahu film-nya akan diputar kapan, karena tak ada kewajiban untuk melapor ke LSF,” kata Rommy menandaskan. (Tri Wahyuni)