
JAKARTA (Suara Karya): Lembaga Sensor Film (LSF) mengajak masyarakat untuk mulai menanamkan budaya sensor mandiri terhadap keluarganya, untuk mencegah dampak negatif internet. Karena selama pandemi covid-19, koneksi anak dengan internet menjadi lebih intens dibanding sebelumnya.
“Orangtua kan tidak bisa mengawasi anak secara penuh saat pembelajaran jarak jauh dengan koneksi internet. Dipikirnya anak belajar di kamar, tetapi bisa saja dia buka situs dewasa,” kata Ketua LSF, Rommy Fibri Hardiyanto dalam seminar bertajuk “Upaya Strategi Pemajuan Film Anak Indonesia” di Jakarta, Kamis (23/7/20).
Budaya sensor mandiri, menurut Rommy, bisa dimulai dengan kebiasaan menonton sesuai klasifikasi usia. Beri pengertian pada anak, alasan hanya boleh menonton dengan tulisan dibawah 13 tahun atau pada remaja dibawah 17 tahun.
“Saya sering lihat masih ada orangtua yang bawa anaknya yang masih kecil ikut nonton film diatas 17 tahun. Mereka tidak menyadari dampaknya terhadap kesehatan jiwa anak. Karena sejak kecil terbiasa lihat adegan kekerasan dan romansa,” ujarnya.
Apalagi, kebiasaan itu berlanjut hingga muncul tayangan berbayar yang bisa diakses dengan mudah di rumah. Yang jadi masalah, karena industri tayangan berbayar seperti Neflix disiarkan tanpa sensor.
“Tak ada solusi atas keberadaan Neflix kecuali mengembangkan budaya sendor mandiri. Hingga kini urusan Neflix dengan Kementerian Keuangan saja sulit, apalagi minta mereka mau menyerahkan filmnya ke LSF untuk disensor lebih dulu,” ucapnya.
Rommy berharap Neflix tidak bersikap egois, karena masa depan anak bangsa bisa terganggu dengan ribuan tayangan tanpa sensor. “Kita kesulitan menekan Neflix karena mereka berlindung dibalik aturan open sky. Semua boleh ditayangkan, kecuali ini dan itu. Jadi kebanyakan bolehnya,” ujarnya.
Ditanya apakah LSF punya sumber daya jika Neflix bersedia bekerja sama, Rommy mengatakan, pihaknya akan berusaha keras. Karena selama ini, tidak ada masalah dengan industri tayangan berbayar lainnya seperti Viu atau Iflix.
Rommy juga menyinggung masih minimnya film yang bisa ditonton anak-anak. Data LSF 2019 menunjukkan film untuk anak baru diproduksi sekitar 10-14 persen dari total film yang beredar.
Menurutnya, insan perfilman lebih senang membuat film untuk kategori remaja dibandingkan untuk anak, karena ada perspektif yang menyebutkan film untuk kategori anak tidak laku di pasaran.
“Secara bisnis, banyak industri film yang tidak mau masuk ke film anak. Alasannya macam-macam, salah satunya faktor ekonomi,” tuturnya.
Ditambahkan, insan perfilman menganggap film kategori remaja lebih menguntungkan dibanding film anak. Karena spektrumnya lebih luas, meski jumlah anak-anak lebih banyak. Selain itu, tak banyak orangtua yang mau menemani anaknya menonton film untuk kategori anak-anak.
Hal senada dikemukakan Ketua Komisi III LSF, Naswardi. Katanya, jumlah film anak mengalami stagnasi dibandingkan film bergenre lain dengan muatan konten dewasa.
“Film anak tak mengalami pertumbuhan, hanya dua persen saja dari 2017 hingga 2018. Beda dibandingkan film horor. Karena satu dari 4 judul film yang tayang di bioskop adalah genre horor dengan sisipan komedi serta konten sensual,” ucapnya.
Hal itu berbanding terbalik dengan kelompok penonton di usia anak dan remaja, yang mana 10-19 tahun yang cukup besar, yakni 33 persen. Padahal, justru anak-anak yang sering menonton televisi atau film cenderung meniru apa yang ditampilkan pada tayangan.
“Hal ini bisa menjadi masalah bila tayangan yang ditonton anak-anak tidak sesuai dengan usia anak,” kata Naswardi.
Ke depan, LSF mendorong agar industri film maupun konten untuk anak lebih banyak. Sehingga anak memiliki pilihan dalam menonton tayangan. (Tri Wahyuni)