Suara Karya

Masyarakat Sakai Riau Kini Tak Mau Lagi Disebut Suku Terasing

JAKARTA (Suara Karya): Masyarakat Sakai yang tinggal di pedalaman Riau saat ini tak mau lagi disebut sebagai suku terasing. Alasannya, banyak anak dari suku tersebut kini telah menjadi ‘orang terpandang’ seperti anggota DPRD, pengusaha dan pekerja kantoran.

“Kami menolak sebutan suku terasing bagi Suku Sakai. Karena saat ini, banyak anak dari Suku Sakai yang berpendidikan tinggi dan memiliki ekonomi yang bagus,” kata Ketua Majelis Kerapatan Adat Batin, Limo Mineh, Riau, Tarmizi di Pekanbaru, Rabu (7/4/2021).

Pernyataan Tarmizi disampaikan saat menyaksikan Peluncuran Film Pendek berjudul “Mimpi Anak Sakai Riau” karya 5 orang jurnalis yang tergabung dalam Forum Jurnalis Kreatif Riau. Bedah film tersebut bekerja sama dengan Fakultas Komunikasi Universitas Muhammadiyah Riau (UMRI).

Hadir dalam diskusi tersebut, Ketua Forum Jurnalis Kreatif Riau, Satria Utama, Dekan Fakultas Ilmu Ekonomi Sosial Universitas Mulawarman, Iya Setyasih, Dosen Pendidikan Sosiologi Universitas Negeri Manado, Romi Mesra serta Dosen Studi Anntropologi Sosial, Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Khairun Ternate, Yanuardi Syukur.

Tarmizi menambahkan, pihaknya ingin meminta keadilan agar anak-anak Sakai diberi kesempatan untuk bisa bekerja di bidang apa saja di pemerintahan. Karena mereka kini tidak lagi buta huruf.

Dekan Fakultas Komunikasi UMRI, Jayus menyatakan, pihaknya siap untuk bermitra dengan Forum Jurnalis Kreatif Riau untuk membuat film lainnya. Dengan demikian, stigma suku terasing yang melekat pada Suku Sakai dapat terhapus secara bertahap.

“Tentunya kita juga perlu riset dan menayangkan film dokumenter itu di berbagai kesempatan. UMRI akan mulai melakukan edukasi terkait masyarakat Sakai lewat jejaring sosial yang dimiliki UMRI,” ucapnya.

Yanuardi Syukur yang hadir sebagai pembedah film dari kalangan akademisi menyatakan, Suku Sakai harus gencar melakukan edukasi agar stigma terasing itu dapat dihapus dari masyarakat secara bertahap. Karena stigma itu sendiri justru berdampak ‘diskriminatif’.

“Film karya anak bangsa ini perlu dikembangkan untuk meningkatkan kualitas hidup suku terasing agar tidak lagi dipandang sebelah mata. Untuk itu, butuh kolaborasi semua pihak guna meningkatkan ekonomi, pendidikan, kesehatan dan lain pada Suku Sakai.

Hal senada dikemukakan Iya Setyasih. Katanya, dibutuhkan sinergisitas antara pemerintah daerah dengan perusahaan setempat untuk mendorong percepatan Suku Sakai menjadi masyarakat yang lebih maju.

“Perusahaan memiliki program CSR dapat berkontribusi dengan membiayai program peningkatan kualitas pendidikan dan ekonomi masyarakat agar bisa cepat terlepas dari stigma terasing,” tutur Iya.

Sementara itu, Romi Mesra Dosen mengemukakan, Film Mimpi Anak Sakai bisa dibilang orang Sakai asli bicara. Karena film tersebut merujuk pada fakta di lapangan lewat beragam wawancara dan penelusuran lainnya.

“Tetapi sayang, saat saya baca artikel di Google, ternyata masih ada kata terasing. Seharusnya sumber informasi tentang Sakai harus diperbaharui lebih dulu,” kata Romi.

Untuk itu, menurut Romi, perlu peran investor, khususnya perusahaan yang beroperasi di sekitar permukiman untuk membantu dalam perubahan stigma tersebut.

Film Mimpi Anak Sakai dapat disaksikan melalui kanal Youtube. (Tri Wahyuni)

Related posts