Mendikbud: Peran Ayah Dibutuhkan dalam Program BdR

0

JAKARTA (Suara Karya): Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Anwar Makarin menyayangkan, masih minimnya peran ayah dalam program Belajar Dari Rumah (BDR) di masa pandemi. Padahal, peran ayah sangat dibutuhkan, terutama dalam pengajaran yang bersifat personalisasi.

“Jika ada orangtua berbagi peran dalam urusan rumah tangga, seperti ayah mencari nafkah dan ibu di rumah, itu adalah pilihan. Saya tidak mengurus hal semacam itu. Tetapi, jika melimpahkan tanggung jawab pendidikan 100 persen ke ibu, lantaran dia ada di rumah, itu tidak benar,” kata Nadiem dalam webinar bertajuk “The Power of Unreasonable Women”, Senin (15/3/2021).

Acara yang digelar untuk memperingati Hari Perempuan Internasional itu dipandu CEO Publicis Communications Singapore, Lou Dela Pena.

Untuk itu, lanjut Nadiem, upaya yang perlu dilakukan adalah perubahan pola pikir. Karena pendidikan yang dipersonalisasi itu tidak bisa digantikan oleh teknologi.

“Ilmu bisa dipelajari melalui teknologi. Itu sudah dibuktikan selama pandemi. Namun sayang, semua orang mencintai pendidikan yang dipersonalisasi. Karena itu, pembelajaran online tidak berhasil di Indonesia, karena sosio-emosional anak selama belajar tatap muka sulit didapat lewat mesin,” tuturnya.

Karena tidak ada mesin yang bisa mereplikasi guru, lanjut Nadiem, maka dibutuhkan peran orangtua untuk menggantikan guru dalam memberi pendidikan yang dipersonalisasi. Kecuali mereka yang memiliki uang untuk membayar tutor.

“Saya  tidak mengadvokasi orang tua untuk belajar secara textbook dan konten yang diajarkan guru di sekolah. Bukan itu. Tetapi bagaimana orangtua melihat pendidikan dari sudut pandang yang lebih holistik,” ujar Nadiem.

Ditambahkan, orangtua harus memahami pendidikan anak-anaknya. Mereka juga harus melibatkan aspek-aspek kunci dalam berinteraksi. Berbicara kepada anak-anak. Itulah pendidikan,” ucapnya.

Jika ada yang mengajak anak Anda untuk berpikir kritis, kata Nadiem, bisa dimulai dengan mengajukan pertanyaan pada anak yang tidak punya jawaban tepat. Sehingga anak memberi jawaban dari hasil pemikirannya sendiri.

“Bila Anda ingin ajarkan anak tentang literasi, mulailah dari bahasa. Ambil semua kesempatan untuk berbicara pada anak-anak Anda. Kalau ingin belajar tentang matematika, bicara soal angka dalam kehidupan sehari-hari. Semua itu tidak butuh silabus dalam kurikulum,” katanya.

Menurut Nadiem, jika orangtua tidak mengerti materi pembelajaran, setidaknya bisa membangun karakter dan kesadaran emosi yang membuat anak menyadari apa yang sedang mereka alami. “Karena itulah pendidikan dan kunci untuk bertahan hidup,” kata Nadiem menandaskan. (Tri Wahyuni)