
JAKARTA (Suara Karya): Dana Biaya Operasional Sekolah (BOS) tahun 2020 naik 6,03 persen dibanding tahun lalu, dari Rp49 triliun menjadi Rp54,32 triliun. Dana tersebut akan ditransfer langsung ke sekolah masing-masing.
“Ada penambahan dana BOS Rp100 ribu per anak per tahun untuk semua jenjang pendidikan,” kata Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati kepada wartawan di Kantor Kementerian Keuangan Jakarta, Senin (10/2/20).
Menkeu Sri Mulyani dalam kesempatan itu didampingi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian.
Ia menjelaskan, jumlah siswa penerima dana BOS tahun 2020 ada sekitar 45,4 juta anak di seluruh Indonesia. Kenaikan dana BOS pada jenjang sekolah dasar (SD) dari sebelumnya Rp800 ribu menjadi Rp900 ribu per anak per tahun. Di jenjang SMP, kenaikan dana juga sebesar Rp100 ribu dari Rp1 juta menjadi Rp1,1 juta per anak per tahun.
“Di jenjang SMA, kenaikan Rp100 ribu dari sebelumnya Rp1,4 juta menjadi Rp1,5 juta per anak per tahun. Di jenjang SMK, kenaikan juga sama dari kisaran Rp1,4 juta menjadi Rp1,6 juta per anak per tahun. Untuk SMK dengan kekhususan, dana BOS diberikan Rp2 juta per siswa per tahun,” katanya.
Untuk penyaluran dananya, Sri Mulyani menjelaskan, hal itu dilakukan tiga kali transfer dalam satu tahun. Formatnya, tahap pertama diberikan 30 persen pada Januari, tahap kedua 40 persen pada April dan tahap ketiga sebesar 30 persen pada September.
“Tahun lalu, penyalurannya dilakukan 4 kali dalam satu tahun. Tahap pertama 20 persen, tahap kedua 40 persen, tahap ketiga 20 persen dan tahap keempat 20 persen,” tuturnya.
Ditegaskan, dana BOS digunakan untuk keperluan pendidikan diluar gaji pegawai negeri sipil (PNS). Pembayaran honor untuk guru honorer dibatasi maksimum 15 persen untuk sekokah negeri dan 30 persen untuk sekolah swasta. Pembelian buku teks dan non teks maksimum 20 persen dari dana BOS.
“Namun ada kewenangan khusus bagi kepala sekolah untuk mengalokasikan dana BOS hingga 50 persen untuk guru honorer, terutama di wilayah 3T (terluar, terdepan dan tertinggal),” ucapnya.
Upaya itu dilakukan, menurut Sri Mulyani, demi perbaikan kesejahteraan guru honorer di wilayah 3T. Kewenangan diberikan kepada kepala sekolah, karena ia yang tahu kebutuhan guru di sekolahnya.
Namun, lanjut Menkeu, pembayaran guru honorer dengan dana BOS hingga 50 persen bisa dilakukan, asalkan memenuhi sejumlah syarat. Diantaranya, guru honorer memiliki Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan (NUPTK), belum memiliki sertifikasi pendidik, dan tercatat dalam Data Pokok Pendidikan (Dapodik) sebelum 31 Desember 2019.
“Jika tidak memiliki satu dari tiga syarat itu, maka guru honorer tersebut tidak masuk dalam perhitungan,” ujarnya.
Sri Mulyani menjelaskan, perubahan tahapan dan persentase penyaluran hingga 70 persen pada semester satu untuk memberi keleluasaan (fleksibilitas) bagi sekolah dalam menerapkan konsep “Merdeka Belajar” yang digagas Mendikbud Nadiem Makarim.
Mendagri menambahkan, mekanisme penyaluran dilakukan dengan skema baru diharapkan berdampak positif pada sekolah. Karena dana tersebut langsung ditransfer ke sekolah. “Anggarannya pun naik hingga Rp54 triliun. Semoga ini bisa mendukung konsep Merdeka Belajar,” ujarnya.
Meski dilakukan percepatan, Menkeu tetap berkomitmen untuk menjaga aspek akurasi dan akuntabilitas. Penyaluran Dana BOS dilakukan setelah Kemkeu menerima rekomendasi dari Kemdikbud berdasarkan laporan yang di-input sekolah melalui Aplikasi Dana BOS.
“Hal itu ditujukan agar data Dana BOS tiap sekolah lebih akurat dan pelaporan juga lebih sederhana. Tetapi aspek akuntabilitas tetap terjaga, karena penyaluran Dana BOS tetap ditatausahakan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
Provinsi/Kabupaten/Kota melalui mekanisme pengesahan belanja,” kata Sri Mulyani.
Selain Dana BOS, perubahan fundamental juga dilaksanakan pada pengelolaan Dana Desa sebagaimana diatur dalam PMK Nomor 205/PMK.07/2019 tentang Pengelolaan Dana Desa. Pada sisi pengalokasian, Dana Desa yang bernilai Rp72 triliun pada 2020, dialokasikan dengan memperhatikan aspek kemiskinan dan kinerja desa.
Hal itu tercermin dalam perubahan formula alokasi Dana Desa dengan adanya Alokasi Kinerja dan perubahan bobot pengalokasian, yaitu Alokasi Dasar (69 persen), Alokasi Afirmasi (1,5 persen), Alokasi Kinerja (1,5 persen) dan Alokasi Formula (28 persen).
Diharapkan, Dana Desa sebagai salah satu instrumen memperbaiki kualitas dan pemerataan layanan publik antardesa, memajukan perekonomian desa dan mengurangi kemiskinan. (Tri Wahyuni)