Suara Karya

Menteri LHK: Perubahan Signifikan Penanganan Lingkungan Hidup Terjadi di Era Jokowi

Menteri Lingkungan hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya Bakar, saat menyampaikan orasi ilmiah pada acara Wisuda Sarjana ke-91 Periode 1 Tahun 2019 Universitas Muhammadiyah Malang, Sabtu (23/2/2019).

JAKARTA (Suara Karya): Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar menyatakan, pengembangan kebijakan lingkungan hidup dan kehutanan saat ini mensyaratkan dukungan ilmu pengetahuan (scientific based) agar pembangunan lingkungan hidup dan kehutanan dapat dilaksanakan secara holistik dan sistematik.

“Tentu saja, tidak mudah menjalankan perubahan dalam pengelolaan lingkungan hidup dan kehutanan dengan berbagai situasi dan tantangan yang ada. Artinya, hampir tidak mungkin dapat dijalankan dengan baik tanpa dasar keilmuan (scientific sensing) yang cukup kuat,” ujar Siti Nurbaya, dalam keterangan persnya, kepada Suara karya, Minggu (24/2/2019).

Dia mengatakan hal itu, ketika memberikan orasi ilmiah dalam acara Wisuda Sarjana ke-91 Periode 1 Tahun 2019 Universitas Muhammadiyah Malang, Sabtu lalu.

Dalam kesempatan itu, Menteri Siti memberikan gambaran tentang perkembangan pengelolaan lingkungan hidup dan kehutanan yang didasari dengan landasan akademik atas langkah-langkah korektif yang dilaksanakan dalam konsepsi, operasional maupun implementasinya.

Dia mengatakan, pada era Pemerintahan Presiden Jokowi sejak tahun 2014 hingga sekarang, telah terjadi perubahan signifikan dalam penanganan sektor lingkungan hidup, sejalan dengan perkembangan dan dinamika aktualisasi politik pemerintahan dalam menyerap, melakukan agregasi dan mengartikulasikan kepentingan dan aspirasi masyarakat.

“Pemerintah mengemban tugas sebagai simpul negosiasi berbagai kepentingan dan aspirasi tersebut. Hal ini di antaranya direfleksikan dalam kebijakan dan pengambilan keputusan yang diambil dari beragam sumber, baik dari aspek legal, politik, praktis atau tradisi, dan ilmiah,” kata Siti Nurbaya.

Siti mengatakan, pemahaman pengetahuan tentang pemerintahan dan fungsi pemerintah sangat penting terlebih lagi saat aktualisasi kebijakan LHK dirasakan nyata sehari-hari di tengah masyarakat.

Jadi, arti pemerintah bagi rakyat kemudian dijabarkan ke dalam empat hal. Pertama, pemerintah hadir untuk mengatur stabilitas dan kesetaraan, serta mengatasi konflik. Kedua, memberikan akses kesejahteraan material seperti pertumbuhan ekonomi dan memberikan jaminan peluang untuk produktif. Ketiga adalah memposisikan hak-hak warga negara, serta yang keempat, membangun demokrasi dan mendorong partisipasi.

Dijelaskan Menteri Siti, pemahaman tentang pemerintahan dan fungsi pemerintah sangat penting dalam konteks pengelolaan lingkungan hidup dan kehutanan, karena dalam prakteknya akan terkait sangat erat, dimana aktualisasi implementasi kebijakan kehutanan dan lingkungan sangat nyata dirasakan di tengah-tengah masyarakat. Upaya kebijakan dan implementasi sektor kehutanan dan lingkungan hidup sangat relevan dalam menjawab kerangka konsep kekuasaan pemerintahan bagi rakyat pada semua dimensi fungsi pemerintah.

Saat ini, lingkungan telah pula menjadi subyek politik, bukan sekadar subyek teknis. “Saya mengikuti terus perkembangan posisi politik ini sejak awal 1900-an. Sejak 1992 tentang earth summit hingga pada tahun 2015 tentang Paris Agreement,” terang Menteri Siti.

Di sinilah tata kelola lingkungan (Environmental Governance) menjadi suatu kebutuhan. Tata kelola lingkungan merupakan rangkuman dari aturan, praktik, kebijakan dan kelembagaan yang membentuk interaksi antara manusia dan lingkungan.

Teori, konsep dan prinsip tata kelola lingkungan tersebut, telah mendasari langkah-langkah korektif yang dirumuskan dan dijalankan untuk memperbaiki kondisi lingkungan hidup dan melestarikan pengelolaan hutan Indonesia.

Koreksi Jokowi

Menteri LHK menjelaskan pokok-pokok koreksi yang dilaksanakan Pemerintahan Presiden Joko Widodo di bidang kehutanan difokuskan pada upaya penataan ulang alokasi sumber daya hutan dengan: (1) mengedepankan izin akses bagi masyarakat dengan hutan sosial; (2) implementasi secara efektif moratorium penerbitan izin baru di hutan alam primer dan gambut; (3) tidak membuka lahan gambut baru (land clearing); (4) moratorium izin baru pembangunan perkebunan sawit; (5) melakukan pengawasan pelaksanaan izin dan mencabut HPH/HTI yang tidak aktif; (6) mengendalikan izin secara sangat selektif dengan luasan terbatas untuk izin baru HPH/HTI serta mendorong kerjasama hutan sosial sebagai offtaker; (7) membangun konfigurasi bisnis baru; dan (8) mendorong kemudahan izin untuk kepentingan prasarana/sarana (jalan, bendungan, energi, telekomunikasi, pemukiman masyarakat/pengungsi).

Selanjutnya, langkah korektif juga dilakukan dengan pengembangan instrumen kebijakan maupun operasional yang meliputi: (1) artikulasi implementasi regulasi; (2) instrumen pengukuran; (3) instrumen kontrol; (4) perizinan sebagai instrumen pengawasan; dan (5) regulasi sebagai instrumen pembinaan kepada pemerintah daerah dan dunia usaha.  Di samping adanya instrumen korektif, juga dilakukan upaya penegakan hukum melalui penerapan sanksi administratif perdata dan pidana; dan konsistensi dalam operasional lapangan. (Gan)

Related posts