
JAKARTA (Suara Karya): Jelang 10 tahun (satu dekade) pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), BPJS Kesehatan dinilai berhasil dalam melakukan revolusi sistem layanan kesehatan di Indonesia.
Hal itu terlihat pada skema asuransi jaminan kesehatan sosial yang sebelumnya terkotak-kotak, kini saling bergantung satu sama lain dalam mewujudkan Universal Health Coverage (UHC) bagi penduduk Indonesia.
“Hampir satu dekade, Program JKN telah berkembang menjadi program strategis yang memiliki kontribusi besar dalam membuka akses layanan kesehatan bagi masyarakat,” kata Direktur Utama BPJS Kesehatan, Ali Ghufron Mukti dalam acara ‘Diskusi Publik Outlook 2023: 10 Tahun Program JKN’ di Jakarta, Senin (30/1/23).
Ditambahkan, banyak negara tertarik kepada BPJS Kesehatan sebagai sebuah program gotong royong berkonsep single payer. Konsep seperti itu sulit ditemukan di negara-negara lain.
“Jika dibandingkan negara lain yang butuh belasan hingga ratusan tahun untuk mencapai UHC, perkembangan JKN terbilang luar biasa pesat,” katanya.
Dan yang tak kalah penting, menurut Ali Ghufron, Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan yang dikelola BPJS Kesehatan berangsur membaik. Bahkan boleh dibilang dalam kondisi amat sehat.
Data per 31 Desember 2022 menyebut 5,98 bulan estimasi pembayaran klaim ke depan, sesuai ketentuan yang berlaku.
“Saat ini tidak ada lagi istilah BPJS Kesehatan gagal bayar rumah sakit,” ucap mantan Wakil Menteri Kesehatan tersebut.
Bahkan, lanjut Ali Ghufron, BPJS Kesehatan saat ini sudah mampu membayar sebagian biaya klaim rumah sakit sebelum diverifikasi untuk menjaga cashflow. Diharapkan rumah sakit bisa optimal melayani pasien JKN.
“Kondisi seperti ini belum pernah terjadi dalam sejarah BPJS Kesehatan. Pemerintah pun telah menaikkan tarif pembayaran layanan kesehatan di Puskesmas dan di rumah sakit untuk memotivasi fasilitas kesehatan untuk meningkatkan mutu pelayanannya,” tuturnya.
Kepesertaan JKN melonjak pesat dari 133,4 juta jiwa pada 2014 menjadi 248,7 juta jiwa pada 2022. Artinya, saat ini lebih dari 90 persen penduduk Indonesia telah terjamin dalam Program JKN.
Khusus untuk peserta JKN dari segmen non Penerima Bantuan Iuran (PBI), yang mencakup Pekerja Penerima Upah (PPU), Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU), dan Bukan Pekerja pada tahun 2014 berjumlah 38,2 juta jiwa. Angka itu naik tajam menjadi 96,9 juta jiwa pada 2022.
Hampir 10 tahun pelaksanaan JKN, penerimaan iuran juga mengalami peningkatan menjadi lebih dari Rp100 triliun, yaitu Rp40,7 triliun pada 2014 menjadi Rp 144 triliun pada 2022 (unaudited).
Dengan bertumbuhnya cakupan kepesertaan JKN, angka pemanfaatan pelayanan kesehatan pun ikut meningkat. Dari 92,3 juta pemanfaatan pada 2014, menjadi 502,8 juta pemanfaatan pada 2022.
Di sisi lain, BPJS Kesehatan juga giat mengusung program promotif preventif, termasuk melalui skrining kesehatan. Langkah itu dilakukan untuk mendeteksi risiko penyakit dan mencegah dampak lanjutan dari penyakit tertentu.
Pada 2022, tercatat ada 15,2 juta peserta JKN memanfaatkan layanan skrining BPJS Kesehatan, mulai dari skrining riwayat kesehatan, diabetes melitus, kanker serviks, dan kanker payudara.
“Faktanya, bukan orang kaya yang paling banyak menggunakan BPJS Kesehatan, tetapi kelompok PBI. Jumlah kasus pemanfaatannya lebih dari 31 juta kasus dengan biaya lebih dari Rp27,5 triliun,” ucapnya.
Sementara, penyakit dengan biaya terbesar yang paling banyak dimanfaatkan PBI adalah penyakit jantung, yaitu sebesar 4,2 juta kasus dengan biaya Rp3,2 triliun.
BPJS Kesehatan sebagai penyelenggara Program JKN dalam satu dekade ink sudah matang dalam menjalankan tugasnya. Pelaksanaan JKN sudah ‘on the right track’, bahkan ada perbaikan terus menerus yang nyata.
Untuk menciptakan ekosistem JKN yang sehat, lanjut Ali Ghufron, semua pihak harus mengoptimalkan kerja sama sesuai dengan peran, kewenangan dan tanggung jawabnya masing-masing.
“Sebagai single payer institution, kemandirian lembaga BPJS Kesehatan perlu dijaga bersama, agar terhindar dari intervensi. Sehingga manfaatnya bagi masyarakat Indonesia bisa terus berkelanjutan,” katanya.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Emanuel Melkiades Laka Lena mengatakan, meski penyelenggaraan Program JKN saat ini sudah mengalami banyak perbaikan di berbagai aspek, tetap ada sejumlah hal yang perlu ditingkatkan.
Disebutkan, mulai dari kepesertaan, mutu layanan kesehatan, efektivitas pembiayaan, hingga soal pembiayaan. Dari aspek kepesertaan, ada Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang bisa dipakai seluruh kementerian/lembaga untuk menentukan semua jenis bantuan sosial di negeri ini.
“Dampak DTKS ini besar sekali bagi masyarakat, sehingga perlu dukungan BPJS Kesehatan agar kepesertaan PBI benar-benar menjangkau orang yang membutuhkan,” katanya.
Pada kesempatan yang sama, Deputi Bidang Pembangunan Manusia Kantor Staf Presiden (KSP), Abetnego Tarigan mengungkapkan, ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam penyelenggaraan Program JKN ke depan, yaitu peningkatan kualitas pelayanan, iuran terjangkau dan upaya mewujudkan UHC.
Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi menambahkan, Program JKN menjadi wujud konkrit transformasi pelayanan kesehatan yang menjangkau seluruh masyarakat.
“Yang diperlukan masyarakat saat ini adalah standarisasi pelayanan kesehatan, bukan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS). Dengan naiknya tarif pelayanan kesehatan, maka fasilitas kesehatan wajib meningkatkan mutu pelayanannya,” ujar Tulus.
Diskusi juga dihadiri narasumber ternama lainnya seperti Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan, Kunta Wibawa Dasa; Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis, Yustinus Prastowo; Direktur Eksekutif Segara Research, Piter Abdullah.
Selain itu ada Koordinator Advokasi Jaminan Sosial BPJS Watch, Timbul Siregar; Pengamat Jaminan Sosial, Chazali Situmorang; dan Kepala Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan Kementerian Kesehatan, Yuli Farianti. (Tri Wahyuni)