Suara Karya

Meski Ada Kendala, Indonesia akan Dapat Sertifikat Eliminasi Filariasis

JAKARTA (Suara Karya): Program eliminasi filariasis (penyakit kaki gajah) di Indonesia hingga kini masih menghadapi kendala. Ada sekitar 13 persen warga di wilayah endemis enggan minum obat anti filariasis, yang diberikan secara gratis setiap Oktober sejak 2015 lalu.

“Cukup minum 1 kali setiap tahun untuk melindungi tubuh dari cacing filaria yang ditularkan lewat nyamuk,” kata Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik, Kementerian Kesehatan (Kemkes) Siti Nadia Tarmizi di Jakarta, Jumat (27/9/2019).

Pencanangan bulan eliminasi filariasis (kaki gajah) tahun ini memasuki tahun ke-5. Ada 236 dari 514 kabupaten/kota di Indonesia merupakan daerah endemis filariasis. Dari jumlah itu, ada 118 kabupaten/kota sudah menerapkan Pemberian Obat Pencegahan Massal (POPM).

Disebutkan, ada enam provinsi yang tidak masuk daerah endemis filariasis, yaitu DKI Jakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Utara.

“Meski masih menghadapi kendala, Indonesia pada 4 Oktober mendatang di Kabupaten Malaka akan dapat sertifikat eliminasi filariasis. Karena POMP sudah mencapai angka 87 persen. Tinggal dua provinsi yang angka capaian POMP-nya masih rendah, dibawah batas nasional 65 persen yaitu Papua dan Sulawesi Barat,” tuturnya.

Dijelaskan, penyebab penyakit kaki gajah adalah cacing filarial yang ditularkan melalui gigitan nyamuk. Berbeda dengan demam berdarah denque (DBD) dan malaria yang ditularkan oleh satu jenis nyamuk, penyakit kaki gajah dapat ditularkan melalui semua jenis nyamuk.

Siti Nadia memaparkan, gejala awal penyakit kaki gajah adalah demam berulang kurang lebih satu hingga dua kali tiap bulan. Itu artinya, cacing mulai masuk ke dalam tubuh. Di tubuh manusia, larva cacing filarial tumbuh menjadi cacing dewasa.

“Cacing dewasa itu dapat menghasilkan jutaan anak cacing atau mikrofilaria. Cacing dewasa akan hidup di saluran dan kelenjar getah bening, sehingga terjadi penyumbatan hingga pada akhirnya menjadi cacat menetap,” ujarnya.

Selain itu, lanjut Siti Nadia, muncul benjolan dan terasa nyeri pada lipatan ketiak atau paha tanpa adanya luka, serta pembesaran yang hilang timbul pada kaki, tangan atau payudara. Pembengkakan itu disebabkan anak cacing menyumbat kelenjar getah bening manusia atau limfatik.

“Penyakit kaki gajah ini penting untuk dieliminasi karena menimbulkan kecacatan yang menetap. Dampaknya, penderita tidak produktif, dan negara mengalami kerugian secara ekonomi yang cukup besar,” katanya.

Siti Nadia menegaskan, kecacatan pada filariasis yaitu kaki yang bengkak sebesar tubuh gajah tidak akan kembali normal. Bahkan, meski penyakit filariasis telah sembuh. “Obat yang kami berikan setiap Oktober itu bisa diminum, baik mereka yang sudah terkena filariasis atau tidak,” ujarnya.

Ditambahkan, kondisi kaki gajah terjadi pada orang setelah bertahun-tahun (5-6 tahun) terinfeksi filaria, tetapi tidak sadar akan gejalanya. Orang tersebut juga tidak mendapat pengobatan. “Tapi beberapa tahun terakhir ini, sudah jarang ditemui orang dengan kondisi kaki gajah. Karena kegiatan POPM terlaksana dengan baik,” tuturnya.

Masyarakat diimbau untuk waspada terhadap penyakit kaki gajah. Dalam hal pencegahan, masyarakat juga dapat menggunakan kelambu ketika tidur, menutup ventilasi rumah dengan kawat kasa, penggunaan obat nyamuk untuk mengusir nyamuk, dan menggunakan alat pelindung diri (obat oles anti nyamuk).

“Kegiatan bersih-bersih rumah itu, bukan saja terhindar dari penyakit kaki gajah, tetapi juga DBD dan malaria. Karena semua penyakit itu ditularkan melalui perantara nyamuk,” kata Siti Nadia menandaskan. (Tri Wahyuni)

Related posts