MPR: Dengan ‘Money Politics’, Orang yang Tak Pantas Bisa Terpilih Jadi Wakil Rakyat

0

JAKARTA (Suara Karya): Wakil Ketua MPR, Mahyudin mengeluhkan maraknya praktik money politics (politik uang) yang terjadi dalam setiap pemilihan anggota legislatif (Pileg) di Indonesia. Dia juga mengkhawatirkan hal tersebut bakal terjadi pada pemilihan umum (Pileg) yang akan digelar tahun depan.

“Kenyataannya memang demikian di lapangan. Praktek money politics, pembagian sembako, dan praktek lain yang serupa, sering kita dengar dalam pemilu. Kondisi demikian, akan menyebabkan hanya orang-orang yang bermodal yang bisa menjadi wakil rakyat,” ujar Mahyudin, saat berbicara dalam diskusi Empat Pilar MPR, di Media Center, gedung DPR, Jakarta, Kamis (22/11/2018).

Akibatnya, kata dia, orang yang tidak pantas bisa menjadi wakil rakyat bila memperoleh suara yang cukup. Sebaliknya, orang yang kredibel untuk menjadi wakil rakyat, karena tidak punya modal, maka sulit untuk terpilih menjadi anggota DPR.

Mahyudin mengatakan, bisa jadi, menurunnya kualitas parlemen, lebih disebabkan oleh faktor tersebut. Mantan Bupati Kutai Timur itu pun memberikan contoh, dalam berbagai kesempatan Rapat Paripurna DPR, kursi yang ada banyak yang kosong.

“Itu terjadi, karena banyak anggota DPR menyebut tidak ada hubungan antara rajin menghadiri rapat atau sidang, dengan keterpilihan saat Pemilu. Menyedihkan bila saat rapat-rapat komisi tak ada orang,” ujarnya menambahkan.

Untuk itu, kata dia, perlu dipikirkan bagaimana sistem Pemilu yang ada, diubah dengan lebih mengedepankan terpilihnya sosok-sosok yang berkualitas.

Dalam kesempatan tersebut, Mahyudin menyebut UU MD3 mengamanatkan kepada lembaga ini untuk Sosialisasi Empat Pilar. Dalam sosialisasi disebut MPR tidak melakukan doktrinisasi.

Saat ini Mahyudin mendengar survei bahwa ada potensi munculnya radikalisme di tengah masyarakat. Menyikapi yang demikian, Mahyudin mengatakan dengan sosialisasi, diharapkan jumlah potensi radikalisme tidak meningkat, dan yang belum terkena dampak radikalisme perlu dibentengi. “Untuk itu pemerintah harus juga ikut melakukan sosialisasi,” ucapnya.

Sementara itu, pengamat hukum tata negara, Irmanputra Sidin berharap agar MPR menjadi rumah kebangsaan. “Tugas lembaga ini (MPR) sangat berat,” ujarnya.

Irman mengandaikan MPR bisa memantau kinerja Presiden. Namun diakui hal demikian sulit, sebab struktur hukum yang ada sudah membatasi MPR. “MPR ke depan kehadirannya harus bisa dirasakan publik,” katanya.

Diakui Irman, hasil amandemen UUD sudah berjalan 20 tahun. Dalam rentang waktu yang ada, sudah terlihat banyak perubahan. Namun dalam perubahan itu ada hal-hal yang membuat rakyat merasa tak nyaman dengan sistem yang berjalan. “Antar tetangga jadi bermusuhan gara-gara beda pilihan menjelang Pemilu Presiden,” ujarnya.

Nah, dari sinilah akhirnya ada yang membenarkan sistem Pemilu jaman dahulu, sebelum UUD diamandemen. Sistem sebelumnya dirasa benar sehingga ada wacana kembali ke UUD Tahun 1945.

Irman menyebut perlu dipikirkan kembali apa yang perlu diperbaiki. Meski demikian tak ada UUD yang sempurna. (Gan)