
JAKARTA (Suara Karya): Mulai 1 Desember 2021, tak ada lagi rekrutmen dosen tetap non-PNS di perguruan tinggi negeri (PTN). Proses penerimaan dosen baru harus mengikuti prosedur seleksi Calon Aparatur Sipil Negara (CASN).
Demikian dikemukakan Direktur Sumberdaya, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi (Ditjen Diktiristek), Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemdikbudristek), Mohammad Sofwan Effendy dalam webinar yang digelar Komunitas SEVIMA, Jumat (10/12/21) malam.
Webinar juga dihadiri Wakil Ketua Komisi X DPR-RI, Dede Yusuf, Direktur SEVIMA, Ridho Irawan dan sekitar 2.700 pimpinan kampus se-Indonesia yang tergabung dalam Komunitas SEVIMA.
Sofwan menambahkan, surat edaran terkait rekrutmen dosen baru itu telah ditandatangani Sekretaris Jenderal Kemdikburistek dengan nomor surat 68446/A.A3/TI.00.02/202.
“Larangan itu sebenarnya bukan dari Kemdikbudristek, tetapi amanat dari Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49 Tahun 2018, bahwa dosen di kampus negeri seharusnya berstatus PNS,” ujarnya.
Menurut Sofwan, Kemdikbudristek telah memberi kelonggaran selama tiga tahun sejak PP itu dikeluarkan. Dosen yang sudah terlanjur menjadi Dosen Tetap Non-PNS, bisa didaftarkan ke pangkalan data (PD) Dikti, yang nantinya akan diberi Nomor Induk Dosen Nasional (NIDN).
“Kedepannya, rekrutmen dosen baru melalui seleksi CASN. Diharapkan, kualitas dan kesejahteraan dosen akan semakin meningkat,” tuturnya.
Dosen yang memiliki NIDN dapat akses ke program beasiswa jenjang doktor (S3) dan hibah penelitian yang selama ini disediakan Kemdikbudristek untuk para dosen yang terdaftar resmi di PD-Dikti.
Larangan rekrutmen dosen non-PNS di kampus negeri, lanjut Sofwan, tidak berlaku bagi Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTNBH). Karena pengelolaan pendidikan di PTNBH sudah berlangsung baik, berkualitas, mandiri dan tidak didanai negara.
“Ketika PTNBH merekrut dosen non-PNS, maka sumber dananya bukan dari negara, tetapi dari dana mereka sendiri. Untuk PTN dengan status BLU (Badan Layanan Umum) dan Satker (Satuan Kerja), negara akan membayar gaji mereka dari direkrut hingga pensiun,” katanya.
Kebijakan terkait rekrutmen dosen baru mendapat tanggapan dari Direktur SEVIMA, Ridho Irawan. Ia menilai kebijakan tersebut akan berdampak pada operasional kampus negeri, yang belum berkembang optimal dan masih kekurangan dosen.
“Jika tidak ada dosen honorer, maka proses perkuliahan akan menghadapi tantangan tersendiri,” ujarnya.
Bicara tentang PTN, menurut Ridho, terbayang akan kampus besar yang serba canggih dalam menggunakan Sistem Akademik Digital Berbasis Awan (Siakadcloud). Karena sebagian dari Komunitas SEVIMA adalah PTN dengan fasilitas seperti itu, seperti Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) dan Universitas Airlangga (Unair).
“Padahal, sebenarnya ada lebih dari 4.500 kampus di Indonesia, baik negeri maupun swasta. Dari jumlah itu, ada dosen non-PNS sekitar 180.000 orang. Di swasta,
kampus yang mayoritas menengah kecil, jangankan memiliki dosen PNS yang cukup, sebagian diantaranya bahkan kekurangan mahasiswa dan terancam tutup,” ucapnya.
Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Dede Yusuf membenarkan hal itu. Namun, upaya peningkatan kualitas dosen sudah mendesak. Terlebih, di era teknologi daat ini, dimana perubahan dunia berlangsung begitu cepat.
“Diperlukan pengajar terbaik untuk menyiapkan anak bangsa dengan sebaik mungkin, apalagi Indonesia memiliki fenomena bonus demografi. Jika ditangani dengan baik akan menjadi beban bagi negara,” ujar Dede yang pernah menjabat sebagai Wakil Gubernur Jawa Barat tersebut.
Guna meningkatkan kualitas dosen, Dede Yusuf bersama para narasumber berbagi tips dan strateginya. Tips itu juga ditujukan untuk kampus dalam menyusun kualifikasi dosen dalam perekrutan dosen.
Pertama, disebutkan, dosen harus memiliki kemampuan untuk menggerakkan mahasiswa dan teman sejawat. Karena tantangan pendidikan kedepan semakin kompleks. Sehingga seorang dosen tak hanya bertugas sebagai pengajar saja.
“Perlu kolaborasi dengan dosen, kampus dan lembaga lain. Inilah esensi dari kampus merdeka, dosen bebas bekerja sama dan berkreasi,” kata Dede.
Kedua, dosen harus bisa memanfaatkan literasi digital, mengingat potensi dunia pendidikan saat ini selalu beradaptasi dengan teknologi. Untuk itu, dosen akan dipilih yang siap beradaptasi dengan bidang teknologi.
“Banyak informasi di internet yang dapat digunakan untuk pengembangan diri dosen maupun kampusnya. Misalkan, sistem pembelajaran berbasis awan (Siakadcloud), hingga aplikasi berbasis video untuk pembelajaran seperti Zoom. Dosen dan kampus perlu proaktif agar teknologi bisa dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk pembelajaran,” ujarnya.
Dengan literasi digital yang baik, lanjut Dede, dosen akan satu frekuensi dengan para mahasiswa. Terlebih mahasiswa saat ini berasal dari Gen Z yang jauh lebih kritis dalam menyampaikan pendapat, dan terbiasa dengan teknologi.
Ketiga, menurut Dede, dosen perlu terus belajar dan meningkatkan kompetensi. Dosen tidak boleh lelah belajar, karena ilmu pengetahuan juga terus berkembang. (Tri Wahyuni)