Netralitas Media Penyiaran di Masyarakat “Terbelah” Jelang Pemilu

0

Oleh: Nurul Candrasari Masjkuri

( Dewan Pendiri Kaukus Perempuan Politik Indonesia)

Memasuki Pemilu 2019, saat ini masyarakat Indonesia “terbelah” berdasarkan preferensi pilihan terhadap calon presiden/wakil presiden (capres-cawapres).

Keterbelahan masyarakat itu tidak hanya tampak dari hasil koalisi partai politik, namun dapat disaksikan dari narasi-narasi postingan status di media sosial, seperti FB, Twiter dan media massa lainnya. Informasi yang bersliweran saling berseteru antardua kubu pendukung masing – masing capres-cawapres, yang maju dalam Pemilu 2019.

Berita atau informasi di media sosial (medsos) yang diproduksi oleh masyarakat yang terbelah itu berisikan content yang merefleksikan suasana kebatinan mereka, yang berbeda-beda seturut pilihannya.

Sementara media massa elektronik, khususnya televisi yang seharusnya menjaga netralitas untuk tidak ikut terbelah, dalam kenyataannya larut menjadi partisan. Padahal, etika penyiaran tidak membolehkan. Media penyiaran harus berpesan global imparsialitas. Itu adalah sebuah keharusan.

Sebagai ilustrasi, saat ini apabila kita menyimak obrolan di warung kopi tentang berita Pemilu 2019, orang-orang di situ dengan mudah mengatakan, TV One merupakan siaran televisi untuk para pendukung Prabowo-Sandi. Sedangkan Metro TV untuk para pendukung Joko Widodo-Ma’ruf Amin. Masing-masing para pendukung capres-cawapres sudah mafhum apabila menyaksikan tayangan berita di kedua televisi itu.

Pandangan itu terbentuk akibat dari demikian mudahnya pemirsa televisi melihat keberpihakan dari stasiun-stasiun televisi itu dalam pemberitaannya.
Kedua stasiun televisi itu secara vulgar menunjukkan keberpihakan atau ketidaknetralan dalam politik pemberitaannya.

Media massa penyiaran adalah sebuah sarana atau medium yang bersifat publik, di mana penyiaran itu menggunakan sarana penghantar lewat frekuensi. Frekuensi itu milik publik (scarcity theory), dan milik negara menurut UUD.

Karena itu, sangat tidak bisa dibenarkan bagi stasiun televisi yang menggunakan frekuensi milik publik yang beragam untuk menyiarkan program twlevisi yang hanya melayani kelompok politik tertentu.
Dan, lebih tidak bisa benar apabila menggunakan sumberdaya alam milik negara, untuk kepentingan politik tertentu yang berakibat memperparah kondisi bangsa yang sudah terbelah akibat perbedaan pilihan pasangan capres-cawapres

Di beberapa negara, antara lain, di Amerika Serikat (AS), prinsip imparsialitas penyiaran pernah dituangkan dalam aturan regulasi (UU), yang disebut dengan istilah prinsip “fairness doctrine.”

Bagi yang melanggar aturan ini akan diberi sanksi berat. Namun, di awal tahun 1990-an, aturan dengan prinsip fairness doctrine itu tidak lagi menjadi ketentuan hukum. Aturan hanya dijadikan sebatas pedoman etika.

Sejak perubahan itu, media penyiaran di AS akhirnya berirama sama dengan media-media partisan dan cenderung memiliki keberpihakan dukungan kepada calon-calon tertentu yang diusungnya dengan kekuatan politik tertentu.

Di sini tampak dominan framing berita dan agenda setting dalam pemberitaan yang ditayangkan. Yakni, sebatas berita-berita dari sisi-sisi yang menguntungkan kekuatan politik tertentu yang mereka dukung saja.

Berbeda dengan di negara negara Eropa, prinsip imparsialitas masih menjadi pedoman yang kokoh, terutama untuk media penyiaran publik. Bahkan, pada media broadcast swasta seperti di Inggris, ada larangan, tidak dapat menayangkan berita iklan politik yg berisi kampanye. Sehingga, berita yang berbau mendukung kekuatan politik tertentu akan langsung terkena kartu kuning. Tidak hanya itu, bahkan bisa sampai terkena kartu merah, dan akan langsung ditutup siarannya. Sebagai contoh kasus ditutupnya Med TV pada tahun 1999 di Inggris.

Di Indonesia keharusan bahwa untuk conten atau isi penyiaran harus berisi yang netral tertera pada dlm pasal 36 ayat 4 UU nomer 32 th 2002 tentang Penyiaran. Disebutkan,
“Isi siaran wajib dijaga netralitasnya, dan tidak diperkenankan mengutamakan golongan tertentu.”
Aturan ini sudah sangat jelas, bahkan sanksi atas aturan tersebut akan dapat sampai ke sanksi pembekuan siaran hingga pecabutan izin.

Namun, dalam prakteknya di lapangan media-media penyiaran yang ada kurang mengindahkan aturan hukum, dan pedoman etika yang mengharuskan menjaga kenetralan.

Beberapa siaran Televisi bahkan ada yang berani secara nyata terus menerus memberitakan partai dan tokoh politiknya, dan sebaliknya tidak mengekspose tokoh politik lawan atau bila ada, yang diberitakan adalah bagian sisi buruk lawan.

Ini lah sebenarnya kebijakan pemberitaan yang buruk,. Konten berita buruk itu kemudian disiarkan berulang-ulang. Hal itu akan menyebar bagaikan virus yang akhirnya menjadi dipercaya. Seperti yang diungkapkan ini,
“If You tell a lie big enough and keep repeating it, people will eventually come to believe it”,
(Jika Anda mengatakan kebohongan yang cukup besar dan terus menerus mengulangnya, pada akhirnya publik  akan memercayainya).  Kutipan kalimat di atas pernah dicetuskan oleh Joseph Goebbels, Menteri Penerangan Publik dan Propaganda Jerman, tahun  1933, di bawah komando diktator Adolf ‘Fuhrer’ Hitler. Ia adalah seorang propagandis ulung, Goebbels adalah pelopor dan pengembang teknik propaganda modern. Racikannya sangat mumpuni, teknik ini terkenal dengan julukan “Teknik Big Lie” (teknik kebohongan besar).

Prinsip dari teknik ini adalah menyebarluaskan berita bohong atau yang disebut berita hoax via media massa sebanyak dan sesering mungkin. Tujuannya, menyebar virus berita kebohongan itu, yang pada akhirnya akan dianggap sebagai suatu berita yang valid kebenarannya. Tekniknya cukup sederhana, namun membunuh. Demikianlah aksi propaganda yang disebarkan tangan kanan sang Fuhrer ini.
Dalam menjalankan misinya, Goebbels menggunakan siaran radio dan film sebagai media propaganda massal.
Target dari kedua alat ini sangat ampuh dan dapat menjangkau berbagai belahan bumi untuk disebarluaskan.

Selanjutnya dalam perhelatan Pilpres 2019, masa kampanye akan sampai pada masa perhitungan suara. Pada kurun inilah peran media penyiaran yang memiliki peran utama dan sangat krusial diuji. Hasil perhitungan polling dan quick count kemungkinan signifikansinya tidak sama antara satu dengan yang lain. Bahkan, yang paling ekstrem adalah hasil perhitungan suara itu antara satu stasiun televisi dengan stasiun televisi lainnya akan berbeda-beda hasil laporan hitungannya.
Ini yang perlu diantisipasi, yakni terjadinya berbeda pemenang. Walhasil akibat terparahnya adalah masyarakat yang akan semakin terbelah, dan dapat menimbulkan keributan akut.

Sementara netralitas lembaga independen, baik itu KPU, Bawaslu maupun Mahkamah Konstitusi masih ada pihak-pihak yang meragukannya. Keraguan itu muncul akibat perbedaan hasil perhitungan pemilu yang diberitakan oleh media televisi memihak dan provokatif.

Akhirnya, media televisi dan media massa apapun, idealnya wajib menjaga netralitas.
Media massa harus sadar dan berada di tengah publik dengan pilihan berbeda dalam menghadapi struktur masyarakat yang saat ini sudah terbelah. Kewajiban media massa seharusnya sebagai yang meredam kekisruhan, bukan memicu kekisruhan yang berujung pada konflik dan pertikaian politik yang lebih fatal.

Saat ini bila mencermati lebih dalam pemilik media massa, baik cetak dan elektronik, sudah bukan rahasia adalah para politikus, bahkan ada yang menjabat ketua partai politik. sehingga akhirnya media tersebut digunakan untuk kepentingan dan alat politik agar mendulang kemenangan.

Seyogyanya peran media massa baik cetak dan elektronik harus melayani semua golongan dan kelompok masyarakat politik di Indonesia, dan menghindari perpecahan.

Mungkin harus diupayakan usulan tentang UU Penyiaran kelak mengatur point tentang bab larangan pengelola atau pemilik media penyiaran cetak/elektronik tidak dapat menjabat menjadi pengurus atau anggota Partai Politik. Hal itu agar media penyiaran di Indonesia bersifat independen non partisan.***