JAKARTA (Suara Karya): Nilai rerata ujian nasional (UN) untuk jenjang sekolah menengah atas (SMA) mengalami penurunan hingga 39 poin, terutama pada tiga mata pelajaran yaitu matematika, fisika dan kimia. Penurunan itu diduga karena dua faktor, yaitu perubahan norma dan moda ujian.
“Penurunan itu bukan karena siswa kita makin bodoh, tetapi ada koreksi nilai pada siswa di sekolah-sekolah berintegritas rendah,” kata Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) Totok Suprayitno di Jakarta, Selasa (8/5)
Hadir dalam kesempatan itu Sekjen Kemdikbud Didik Suhardi, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) Hamid Muhammad dan Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) Bambang Supriyadi.
Totok Suprayitno menjelaskan, faktor perubahan norma itu karena pada materi soal UN 2018 dimasukkan beberapa soal dengan standar yang lebih tinggi atau high order thinking skill (hots) dibanding UN 2017.
Kesulitan itu, lanjut Totok, tampak dialami siswa di sekitar 50 persen sekolah, yang ditunjukkan lewat penurunan rerata nilai UN. Namun nilai UN di 50 persen sekolah lain justru mengalami kenaikan.
“Secara agregat faktor kesulitan soal ini tampaknya berpengaruh kecil. Karena ada yang nilainya turun, tetapi juga ada yang naik,” ujarnya.
Totok menambahkan, faktor kedua adalah perubahan moda ujian, dari ujian nasional berbasis kertas dan pensil (UNKP) ke ujian nasional berbasis komputer (UNBK). Sekolah yang beralih dari UNKP ke UNBK mengalami penurunan nilai sangat signifikan.
“Sekolah dengan indeks integritas rendah pada UN 2017 secara rerata terkoreksi nilainya atau turun sebesar 39 poin. Bahasa sederhananya, nilai yang besar-besar pada UN sebelumnya itu palsu. Kalau sekarang hasilnya sesuai fakta,” ucap Totok.
Ditambahkannya, hasil UN selanjutnya akan dianalisis untuk mendiagnosa topik-topik yang harus diperbaiki di setiap sekolah pada setiap mata pelajaran UN. Hasil analisis itu akan didistribusikan ke semua Dinas Pendidikan untuk program peningkatan mutu pembelajaran.
Mendikbud Muhadjir Effendy dalam kesempatan terpisah saat diminta pendapatnya terkait penurunan nilai rerata UN 2018 mengatakan, hal itu tak terelakkan. Karena siswa Indonesia harus mulai diperkenalkan soal UN yang menuntut penalaran semacam hots.
“Soal hots pada UN sebetulnya tak banyak, hanya 10-15 persen dari total soal. Itu dilakukan untuk menyesuaikan secara bertahap standar Indonesia dengan standar internasional, antara lain standar Program for International Student Assessment (PISA),” kata Muhadjir.
Hal senada dikemukakan Dirjen Dikdasmen Hamid Muhammad. Sikap kritis siswa dalam menilai soal yang diujikan adalah baik. Karena itu melatih siswa berpikir secara kritis dalam menyelesaikan masalah.
“Untuk menyelesaikan soal penalaran, siswa tak hanya perlu menguasai konsep tetapi juga perlu mengolah informasi yang disajikan untuk menemukan penyelesaian yang sesuai,” katanya.
Ia berjanji akan menjadikan hasil diagnosis sebagai salah satu acuan dalam pembuatan kebijakan peningkatan proses pembelajaran. Satu hal positif yang perlu dicatat adalah hasil UN tahun ini memberi gambaran apa adanya tentang hasil belajar siswa. (Tri Wahyuni)