
JAKARTA (Suara Karya): Hasil seleksi Program Organisasi Penggerak (POP) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) memicu kontroversi publik. Selain masuknya dua yayasan yang terafiliasi ke perusahaan besar, banyak entitas baru di dunia pendidikan lolos seleksi program.
Buntutnya, Lembaga Pendidikan (LP) Ma’arif PBNU dan Majelis Pendidikan Dasar-Menengah PP Muhammadiyah pun menyatakan mundur dari kepesertaan POP sebagai bentuk protes. Padahal, kedua lembaga pendidikan itu merupakan dua entitas dengan rekam jejak panjang dalam dunia pendidikan di Indonesia.
“Karena itu, kami mendesak Kemdikbud membuka kriteria yang mendasari lolosnya entitas pendidikan sehingga bisa masuk POP. Sehingga publik tahu alasannya,” kata Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda saat dihubungi wartawan, Rabu (21/7/20).
Huda menilai pengunduran diri NU dan Muhammadiyah dari POP menunjukkan adanya ketidakberesan dalam proses rekruitmen. “Kemdikbud harusnya tidak
bisa memandang remeh fenomena pengunduran diri LP Ma’rif NU dan Majelis Pendidikan Muhammadiyah dari PO,” ucapnya.
Menurut Huda, pengunduran diri NU dan Muhammadiyah akan mempengaruhi legitimasi dari pelaksanaan POP itu sendiri. “Bayangkan, lembaga pendidikan NU dan Muhammadiyah itu memiliki jaringan sekolah yang jelas, tenaga pendidik yang banyak dan jutaan peserta didik. Jika mereka sampai mundur, lalu POP mau menyasar siapa,” ucapnya.
Huda mengatakan, Kemdikbud tidak bisa beralasan jika proses seleksi diserahkan kepada pihak ketiga sehingga mereka tidak bisa ikut campur. Seharusnya Kemdikbud tetap melakukan kontrol terhadap mekanisme seleksi, termasuk proses verifikasi di lapangan.
“Pendidikan adalah salah satu pilar kehidupan bangsa. Keberadaannya telah eksis sejak sebelum kemerdekaan. Kita dengan mudah bisa membedakan, mana entitas pendidikan yang berpengalaman dan mana entitas pendidikan baru yang baru eksis dalam 4-5 tahun terakhir,” katanya.
Huda menilai, seleksi POP harus menunjukkan keberpihakan pada ormas-ormas dengan rekam jejak panjang di dunia pendidikan di Indonesia. Hal itu bisa dilihat dari jaringan sekolah yang mereka miliki, jumlah pendidik yang terafiliasi, hingga komitmen terhadap NKRI dan Pancasila.
“Menurut pandangan kami, tidak bisa POP ini diserahkan ke pasar bebas dalam proses seleksinya. Perlu ada pertimbangan khusus, karena sekali lagi POP ini juga menjadi bagian dari upaya pemberdayaan masyarakat,” ucapnya.
Sebagai informasi Program Organisasi Penggerak (POP) merupakan salah satu program unggulan Kemdikbud. Program itu bertujuan untuk memberikan pelatihan dan pendampingan bagi para guru penggerak untuk meningkatkan kualitas dan kemampuan peserta didik.
Dalam program itu, Kemdikbud akan melibatkan organisasi masyarakat yang mempunyai kapasitas meningkatkan kualitas para guru melalui berbagai pelatihan. Anggaran yang dialokasikan mencapai Rp 567 miliar per tahun. Dana itu untuk membiayai pelatihan atau kegiatan yang diselenggarakan organisasi terpilih.
Organisasi yang terpilih dibagi dalam tiga kategori, yakni Gajah, Macan dan Kijang. Untuk Gajah dananya maksimal Rp20 miliar per tahun, Macan Rp5 miliar per tahun, dan Kijang Rp 1 miliar per tahun. (Tri Wahyuni)