Suara Karya

Pantun Akhirnya Ditetapkan sebagai Warisan Budaya Dunia Takbenda

JAKARTA (Suara Karya): Badan dunia untuk pendidikan dan kebudayaan (Unesco) menetapkan tradisi pantun sebagai warisan budaya dunia tak benda. Penetapan itu setelah sidang Unesco sesi ke-15 Intergovernmental Committee for the Safeguarding of the Intangible Cultural Heritage di Paris, Prancis pada 17 Desember 2020.

“Kami minta masyarakat bersatu padu melestarikan pantun, agar tradisi itu tidak hilang ditelan zaman,” kata Dirjen Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), Hilmar Farid dalam taklimat media yang digelar secara virtual, Jumat (18/12/2020).

Upaya lain yang dilakukan pemerintah, lanjut Hilmar, pihaknya akan giat mengajak sanggar-sanggar budaya untuk menumbuhkembangkan tradisi pantun, menyiapkan bahan ajar untuk guru agar peserta didik tertarik belajar tentang pantun.

“Kami akan buat sejumlah acara untuk memasyaratkan pantun dalam kehidupan sehari-hari. Termasuk pemberian penghargaan untuk mereka yang mendedikasikan hidupnya untuk melestarikan pantun,” tuturnya.

Sebagai informasi, nominasi pantun diajukan secara bersama oleh Indonesia dan Malaysia. Tradisi itu merupakan budaya Indonesia ke-11 yang diakui oleh Unesco. Sebelumnya, Pencak Silat diinskripsi sebagai Warisan Budaya Takbenda pada 12 Desember 2019.

Unesco menilai pantun memiliki arti penting bagi masyarakat Melayu tak hanya sebagai alat komunikasi sosial, tetapi juga kaya akan nilai-nilai yang menjadi panduan moral. Pesan yang disampaikan lewat pantun umumnya menekankan keseimbangan dan harmoni hubungan antarmanusia.

“Pantun menyediakan wadah untuk menuangkan ide-ide, menghibur atau berkomunikasi antarmanusia.tanpa membedakan ras, kebangsaan atau agama. Tradisi Pantun mendorong rasa saling hormat antarkomunitas, kelompok dan individu,” katanya.

Bagi Indonesia, lanjut Hilmar Farid, keberhasilan penetapan pantun sebagai Warisan Budaya Takbenda tak lepas dari keterlibatan aktif berbagai pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah pusat, pemerintah daerah hingga berbagai komunitas terkait.

Komunitas itu, disebutkan Hilmar, antara lain Asosiasi Tradisi Lisan (ATL), Lembaga Adat Melayu, Komunitas Joget Dangdung Morro, Komunitas Joget Dangdung Sungai Enam, Komunitas Gazal Pulau Penyengat, Sanggar Teater Warisan Mak Yong Kampung Kijang Keke, serta sejumlah individu dan pemantun Indonesia.

Hilmar Farid memberi apresiasi kepada seluruh pihak yang telah menyumbangkan tenaga dan pikiran untuk menominasikan pantun, baik dari Indonesia maupun Malaysia. Penetapan pantun merupakan bukti Indonesia bisa kerja bersama dengan negara lain untuk mengusulkan warisan budaya yang dimiliki.

Wakil Delegasi Tetap RI untuk Unesco, Surya Rosa Putra dalam pernyataannya mengatakan, nominasi Indonesia pertama yang diajukan bersama dengan negara lain. Inskripsi Pantun memiliki arti penting bagi Indonesia dan Malaysia.

“Pantun merefleksikan kedekatan dua negara serumpun yang berbagi identitas, budaya dan tradisi Melayu,” ujarnya.

Bagi komunitas Melayu, pantun memiliki peran penting sebagai instrumen komunikasi sosial dan bimbingan moral yang menekankan keseimbangan, harmoni dan fleksibilitas hubungan dan interaksi antarmanusia dalam syairnya. Hari ini, bahkan pantun juga menjadi media pendukung dalam pemberdayaan ekonomi kreatif.

Hilmar Farid menjelaskan, pantun adalah bentuk lisan yang paling tersebar luas di Asia Tenggara dan digunakan di kawasan setidaknya selama 500 tahun. Pantun menjadi sarana untuk mengungkapkan rasa cinta, dimana lebih dari 70 persen syairnya ditujukan untuk mengungkapkan rasa cinta terhadap pasangan, keluarga, komunitas dan alam.

“Kedepan, Indonesia dan Malaysia berkomitmen untuk terus melakukan berbagai upaya untuk memastikan perlindungan terhadap pantun sebagai Warisan Budaya Takbenda. Pantun juga dilestarikan dengan cara diajarkan secara formal di sekolah melalui kegiatan kesenian,” ucapnya.

Ditanya kemungkinan pantun masuk dalam kurikulum, Hilmar mengatakan, tidak. Pantun akan diajarkan dalam mata pelajaran terkait seperti bahasa Indonesia atau mata pelajaran lainnya. “Dibutuhkan kreativitas guru agar pantun bisa kenalkan ke peserta didik dalam berbagai kesempatan,” kata Hilmar menandaskan. (Tri Wahyuni)

Related posts