Pasien Diabetes Peringkat Tertinggi Program Rujuk Balik di FKTP

0
Deputi Direksi BPJS Kesehatan Ari Dwi Aryani dalam diskusi media yang digelar Center for Health Economics and Policy Studies (CHEPS) Universitas Indonesia secara virtual, Jumat (13/11/20).(Suarakarya.co.id/Tri Wahyuni)

JAKARTA (Suara Karya): Diabetes menduduki peringkat tertinggi dalam pengelolaan Program Rujuk Balik (PRB) di Fasilitas Kesehatan Tahap Pertama (FKTP), sebesar 39,8 persen. Posisi kedua ditempati hipertensi sebesar 36,3 persen.

“Untuk penyakit jantung angkanya 12 persen, sedangkan penyakit lain dibawah 5 persen,” kata Deputi Direksi BPJS Kesehatan Ari Dwi Aryani dalam diskusi media yang digelar Center for Health Economics and Policy Studies (CHEPS) Universitas Indonesia secara virtual, Jumat (13/11/20).

Ari menjelaskan, PRB merupakan pelimpahan tugas dan tanggung jawan pelayanan kesehatan dari dokter spesialis/subspesialis di FKRTL (Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat lanjut) ke FKTP pada pasien kronis yang kondisinya sudah stabil dan disertai surat keterangan rujuk balik.

“Tahun ini ada sekitar 1,6 juta pasien diabetes di seluruh Indonesia tercatat dalam PRB. Dari jumlah itu, 79,2 persen menjadi pasien aktif di FKTP. Kami harap, FKTP dapat menjaga kesehatan pasien di masa pandemi ini. Karena mereka rawan terkena covid-19,” katanya.

Ari Dwi Ariyani mengakui Program Pengelolaan Penyakit Kronis (Prolanis) yang dikelola FKTP belum berjalan secara optimal. Program tersebut baru mencapai target sebesar 55 persen. Untuk program pengendalian penyakit malah baru mencapai angka 8 persen.

“Progran Prolanis belum berjalan optimal, berdasarkan hasil evaluasi karena kapitasi yang diterima FKTP terlalu kecil. Dananya habis untuk layanan kesehatan, sehingga kegiatan preventif dan promotif tidak mendapat perhatian. Padahal, dua kegiatan itu sama pentingnya dengan pengobatan,” katanya.

Upaya yang harus dilakukan untuk mendongkrak kinerja FKTP, menurut Ari Dwi Ariyani, salah satunya meningkatkan dana kapitasi. Diusulkan perhitungan dilakukan berbasis kinerja. Sehingga penambahan dana bisa dilakukan untuk memperkuat kegiatan promotif dan preventif.

“Harapannya masyarakat semakin sehat, sehingga biaya kuratif dan rehabilitatif mengecil. Beban pemerintah atas kesehatan masyarakat juga berkurang,” katanya.

Ari mengutip data BPJS Kesehatan tahun 2016 yang menunjukkan, ada 18,9 juta peserta JKN yang mengakses perawatan lanjutan di rumah sakit. Dari jumlah itu, 812.204 atau 4 persen teridentifikasi menderita diabetes tipe 2. Sekitar 57 persen mengalami komplikasi, dengan penyakit kardiovaskular paling umum sebesar 24 persen.

“Total biaya pengobatan diabetes tipe 2 dan komplikasinya mencapai 576 juta dolar atau sekitar Rp8,6 triliun pada tahun 2016. Dari jumlah itu, 74 persen biaya digunakan untuk manajemen penderita komplikasi terkait diabetes,” katanya.

Ditambahkan, pemantauan dan pengobatan diabetes tipe 2 dilakukan sedini mungkin di semua tingkat perawatan, mulai dari FKTP seperti Puskesmas dan klinik yang ditunjuk BPJS kesehatan. Hal itu merupakan cara yang efektif untuk mendorong diagnosis dini dan mempertahankan kontrol glikemik pada pasien diabetes.

Sementara Ketua Perkeni, Ketut Suastika mengungkapkan, diabetes merupakan bom waktu bagi penderitanya, mengingat penyakit tersebut menggerogoti hampir semua organ tubuh. Terutama pasien diabetes yang menderita penyakitnya lebih dari 4 tahun.

“Ditengah pandemi ini, diabetes mempu menurunkan imunitas penderitanya. Mereka rawan diserang covid-19,” kata Ketut menandaskan. (Tri Wahyuni)