
JAKARTA (Suara Karya): Pendidikan dasar dinilai telah menjadi hak dasar yang diakui secara universal. Sayangnya, hak atas pendidikan tinggi, masih menjadi perdebatan, baik di tataran teori maupun praktik.
Demikian dikemukakan mantan Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Arief Patramijaya, dalam keterangan tertulisnya, kepada wartawan, Senin (7/1/2019).
Calon anggota legislatif (caleg) dari Partai Hanura ini mengatakan, bagi banyak orang, saat ini bisa melanjutkan pendidikan tinggi di Universitas (kuliah) merupakan sebuah keistimewaan, bukanlah suatu perwujudan hal asasi manusia.
“Sebuah studi (Altbach, et al.2009) memaparkan data, hanya 7 ersen remaja yang bisa melanjutkan kuliah di banyak negara berkembang. Era saat ini, pintar saja belum cukup, kalau tidak punya uang untuk membayar uang kuliah. Dulu perbedaan antara biaya kuliah di perguruan tinggi negeri dengan swasta relatif mencolok. Di era saya, 1990-an, salah satu alasan mengapa kuliah di universitas negeri karena faktor biaya yang lebih murah ketimbang swasta,” ujar Patra, sapaan akrabnya.
Saat ini, kata dia, perbedaan biaya tidak terlalu besar. Karenanya, masyarakat kebayakan tidak mampu mengambil tempat di bangku perguruan tinggi.
Caleg DPR RI Dapil DKI II dengan nomor urut 3 ini mencontohkan, Amartya Sen, peraih Nobel Ekonomi menulis: Human rights can be seen as primarily ethical demands. They are not principally ‘legal’, ‘protolegal’ or ‘ideal-legal’ commands. Even though human rights can, and often do, inspire legislation, this is further fact, rather than a constitutive characteristic of human rights (Sen:2004:390).
“Mari dorong pendidikan tinggi menjadi hak asasi manusia di negeri ini! Hak bagi remaja, anak-anak kita dibiayai Negara untuk mendapatkan kursi di bangku universitas,” katanya. (Gan)