JAKARTA (Suara Karya): Penduduk buta aksara latin di Indonesia hingga kini masih berkutat di angka 1,78 persen dari total penduduk atau sekitar 4,4 juta orang. Untuk itu, pemerintah akan tempuh 4 langkah strategis yang diharapkan efektif dalam pemberantasan penduduk buta aksara latin.
Hal itu kemukakan Dirjen Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar dan Menengah (PAUD Dikdasmen), Jumeri dalam keterangan pers secara virtual, Jumat (4/9/20) terkait akan digelarnya peringatan Hari Aksara Internasional (HAI) pada 8 September 2020.
Hadir dalam kesempatan itu, Direktur Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus (PMPK), Kemdikbud, Samto dan Kepala Biro Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat (BKHM) Kemdikbud, Evy Mulyani.
Jumeri menjelaskan, langkah pertama adalah pemutakhiran data penduduk buta aksara latin. Data tersebut penting agar dapat mengukur secara benar capaian program. Daerah yang memiliki penduduk buta aksara tinggi akan dapat prioritas.
“Jika merujuk pada gender, penduduk buta aksara lebih banyak pada kaum perempuan. Itu berarti kesetaraan gender masih harus diperjuangkan. Karena kemampuan literasi seseorang akan berdampak pada semua sektor kehidupan,” ucapnya.
Langkah kedua, Jumeri menambahkan, strategi penuntasan melalui layanan program pendidikan keaksaraan. Layanan tersebut akan fokus pada daerah yang persentase buta aksara tertinggi.
“Upaya itu dilakukan lewat sistem blok atau cluster. Ada 6 provinsi yg harus diperjuangkan dengan sungguh-sungguh. Keenam provinsi itu adalah Papua (21,9 persen penduduk buta aksara), Nusa Tenggara Barat (7,46 persen), Nusa Tenggara Timur (4,24 persen), Sulawesi Selatan (4,22 persen), Sulawesi Barat (3,98 persen) dan Kalimantan Barat (3,81 persen).
“Hasil pemetaan menunjukkan penduduk buta aksara rata-rata usia 15 tahun keatas ada 2,29 persen di perkotaan dan 6,44 persen di perdesaan. Sedangkan penduduk buta aksara usia 15-24 tahun di perkotaan ada 0,05 persen dan 0,48 persen di perdesaan. Untuk usia 15-59 hingga usia pensiun di perkotaan ada 0,76 persen dan 3,14 persen di pedesaan,” tuturnya.
Jumeri menilai sistem blok terbilang efektif dalam menurunkan persentase penduduk buta aksara. Program yang digulirkan harus mempertimbangkan kearifan budaya lokal seperti program aksara dasar bagi komunitas adat terpencil. Program tersebut membantu daerah-daerah yang sulit terjangkau.
Langkah ketiga adalah mengembangkan jejaring dan sinergi untuk memelihara keberaksaraannya lewat program pembimbingan. Termasuk penyediaan buku-buku bacaan yang berguna untuk meningkatkan kemampuan literasinya.
“Program bimbingan ini dilakukan lewat kemitraan dengan perguruan tinggi melalui program Kuliah Kerja Nyata (KKN) tematik pemberantasan buta aksara. Program tersebut juga bekerja sama dengan dinas pendidikan kabupaten/kota, pusat pengembangan atau Balai Pengembangan PAUD Dikmas serta organisasi yang bergerak di bidang pendidikan,” katanya.
Langkah keempat, disebutkan Jumeri, inovasi dalam program lewat program dalam jaringan (daring). Jadi, tak hanya siswa dan mahasiswa, warga belajar dalam program keaksaraan juga harus melakukan pembelajaran daring di masa pandemi.
“Inovasi pendekatan strategi dan metode pembelajaran keaksaraan di masa kebiasaan baru ini juga harus berubah. Manfaatkan teknologi untuk pembelajaran,” kata Jumeri menandaskan. (Tri Wahyuni)