
JAKARTA (Suara Karya): dr. Tubagus Djumhana, SpPD-KHOM, Ketua PERHOMPEDIN, menjelaskan, angka tahan hidup kanker paru sangat tergantung pada diagnosis. Mayoritas kasus kanker paru baru diketahui saat stadium lanjut 3 atau 4, dengan angka tahan hidup yang semakin rendah.
Oleh sebab itu diagnosis yang tepat dan cepat sangat berarti guna memastikan pasien mendapatkan penanganan yang juga tepat dan akurat sesuai tipe kanker paru. Diperlukan kerja sama multidisiplin yang baik agar dapat menangani pasien kanker paru secara menyeluruh dari mulai diagnosis, pengobatan hingga pemantauan.
dr. Sita Laksmi Andarini, SpP(K), PhD Pokja Onkologi Toraks PDPI; menambahkan: “Prioritaskan tindakan pengendalian dan pencegahan kanker paru sebagai penyumbang kematian tertinggi dari seluruh kanker. Pengendalian kanker melalui promosi kesehatan (pengendalian rokok), meningkatkan kewaspadaan, dan deteksi dini, terutama pada kelompok risiko tinggi (laki-laki, perokok, di atas usia 40 tahun). Deteksi dini dan diagnosis kanker paru seperti biopsi dan bronkoskopi harus tersedia secara luas.”
Pada saat ini, perkembangan diagnosis dan tatalaksana kanker paru di Indonesia sesuai dengan standar pedoman diagnosis dan tatalaksana internasional. 90% dari kanker paru merupakan Kanker Paru jenis Karsinoma Bukan Sel Kecil (KPKBSK atau non-small cell lung cancer). Tatalaksana kanker paru tergantung akan jenis, stadium dan performance status pasien. Untuk stadium 1,2,3 dapat dilakukan tindakan pembedahan, yang dapat diikuti oleh radioterapi atau kemoterapi.
Sedangkan pada stadium IV, tatalaksana kanker paru bergantung pada driver oncogen atau penanda molekuler yang menyertainya. Pada populasi Indonesia, EGFR mutasi positif dapat ditemukan sekitar 48% KPKBSK, dan tatalaksana dengan targeted therapy (EGFR TKI). Pada populasi kanker paru yang lebih muda, dapat ditemukan mutasi ALK (5%) sebagai penanda terapi untuk ALK inhibitor.
Sekitar 30% pasien kanker paru dengan EGFR dan ALK negatif, memiliki ekspresi PD-L1 ≥50% yang merupakan penanda untuk imunoterapi. Pada saat ini, pasien dengan mutasi EGFR dapat mendapatkan pengobatan EGFR-TKI (tablet) melalui program JKN, dan seluruh pasien yang memiliki EGFR mutasi negatif hanya mendapatkan kemoterapi, walaupaun memiliki ALK positif maupun ekspresi PD-L1≥50%, yang seharusnya dapat mendapatkan terapi sesuai dengan guidelines untuk memperpanjang angka tahan hidup.
Prof. Dr.dr. Aru W. Sudoyo, Sp.PD-KHOM, FACP, ketua YKI mengatakan “Tersedianya akses ke diagnostik yang memadai menjadi salah satu kunci untuk mencapai penanganan yang baik. Saat ini skrining dan diagnostik masih menjadi kendala yang mengakibatkan pasien baru dapat mengetahui kanker ketika sudah di stadium lanjut, Lebih menggiatkan usaha pengendalian rokok juga sangat penting untuk semakin meningkatkan kesadaran masyarakat akan bahayanya rokok bukan hanya untuk perokok aktif, tapi juga perokok pasif.
Aryanthi Baramuli, Ketua CISC mengatakan “Bagi para pasien, dukungan dari seluruh pihak untuk penanganan kanker paru yang lebih baik sangat bermakna. Kami berterima kasih kepada PKJS UI dan para pemangku kepentingan yang berpartisipasi dalam acara ini. Semoga rekomendasi ini membawa dampak besar bagi para pasien. Kami harap kedepannya kita dapat menurunkan angka kesakitan dan angka kematian pasien akibat kanker paru, dan meningkatkan kualitas hidup mereka.”
Setelah acara ini PKJS-UI merangkum hasil diskusi dari pemangku kepentingan untuk dijadikan sebuah rekomendasi tertulis yang akan disampaikan pemerintah untuk membantu peningkatan penanganan pasien kanker paru. Laporan tersebut juga akan tersedia kepada publik sebagai bentuk dukungan untuk para pasien kanker paru dan keluarga mereka. (Andara Yuni)