Pendidikan Vokasi Bisa jadi Tumpuan Ekonomi Nasional dan Daerah

0

JAKARTA (Suara Karya): Pendidikan vokasi bisa menjadi tumpuan untuk pertumbuhan ekonomi nasional dan daerah. Dengan cara, mengoptimalkan sumber daya manusia agar produktivitas mereka di dunia kerja terus meningkat.

Demikian kesimpulan dalam diskusi bertajuk ‘Mendukung Kekuatan Ekonomi Nasional Melalui Tumpuan Pendidikan Vokasi’ di Jakarta, Selasa (11/12/23).

Diskusi digagas Study Club CEMPAKA bekerja sama Direktorat Kemitraan dan Penyelarasaan Dunia Usaha dan Dunia Industri (Mitras DUDI), Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemdikbudristek), Universitas Yarsi, dan Meeting.ai.

Tampil sebagai narasumber, yaitu Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Kemitraan dan Penyelerasan Dunia Usaha dan Dunia Industri (Mitras DUDI), Ditjen Pendidikan Vokasi, Kemdikbudristek Uuf Brajawidagda; Direktur Segara Research Institute Piter Abdullah Redjalam; Direktur ASTRAtech Ricardus Henri Paul; Direktur Program Pendidikan Vokasi Universitas Indonesia Padang, Wicaksono; dan penanggap Rektor Universitas Yarsi Fasli Jalal.

Uuf Brajawidagda mengatakan, pendidikan vokasi perlu tetap relevan dengan pembangunan ekonomi, baik sektoral misalkan politeknik manufaktur atau kesehatan.

Pendidikan vokasi di Indonesia saat ini mencakup sekitar 14.000 SMK, 2.000 program studi vokasi, dan 273 Politeknik dan Akademi Komunitas, 17.000 lembaga pelatihan dan kursus.

“Dalam 3 tahun terakhir, kita coba membuka sekat-sekat pendidikan vokasi. Misalkan, Lembaga Kursus dan Pelatihan (LKP) memiliki program PKK dan PKW, di SMK ada Pusat Keunggulan dan pemadanan dukungan, serta di peguruan tinggi vokasi ada matching fund,” tutur Uuf.

Program lainnya juga dibuat untuk membuat ekosistem kemitraan berjalam di daerah. “Jadi, Mitras DUDI mendorong pemanfataan sekat-sekat yang makin terbuka di satuan pendidikan menjadi kemitraan di daerah, sehingga menggali potensi di daerah,” kata Uuf.

Hal itu membuat tantangan dalam pendidikan vokasi semakin menarik dan berkualitas. Seperti di Singapura, politeknik diakui sebagai ‘saos rahasia ekonomi’ Singapura.

Hal senada dikemukakan Piter Abdullah Redjalam. Katanya, Indonesia harus meningkatkan pendapatan per kapita di atas 13 ribu dollar Amerika Serikat (AS) dari saat ini masih 4 ribu dollar AS, agar bisa disebut sebagai negara maju.

“Tak mudah meningkatkan Indonesia menjadi negara maju karena butuh pertumbuhan ekonomi yang luar biasa. Butuh pertumbuhan ekonomi rata-rata 7 persen selama 10-15 tahun ke depan,” katanya.

Selama era Presiden Jokowi, pertumbuhan rata-rata 5 persen. Namun, potensi untuk maju itu ada karena Indonesia punya sumber daya alam, dan bonus demografi,” ujar Piter.

Agar bonus demografi mendukung pertumbuhan ekonomi, lanjut Piter, harus ada lapangan pekerjaan yang cukup, sehingga tidak terjadi ledakan pengangguran. Tiap pertumbuhan ekonomi satu persen menyerap sekitar 250.000 angkatan kerja.

“Jika 5 persen, maka butuh sekitar 1,25 juta lapangan kerja formal. Padahal, pertumbuhan angkatan kerja kita mencapai 3 juta orang. Bahkan, Lembaga Demografi UI menyebut angka 4 juta,” katanya.

Piter meyakini pendidikan vokasi yang mengutamakan skill akan mendukung pemanfaatan bonus demografi. Namun, perlu dipastikan skills yang dimiliki lulusan selaras dengan industri.

“Bukan gelar lagi yang dikejar, tapi kemampuan pada bidang-bidang tertentu, sehingga industri mudah menyerap lulusan,” ujar Piter.

Direktur ASTRAtech Ricardus Henri Paul mengatakan, kunci keberhasilan pendidikan vokasi adalah adanya ekosistem yang mendukung.

“Untuk link and match cair karena terkait dengan industri, dosen praktisi juga banyak. Selain itu, berbagi keahlian dari para praktisi dan review kurikulum bersama, dan karakter juga dibentuk,” katanya.

Ia mencontohkan pendidikan vokasi dengan model Astratech Dual System. Di tahun awal, mahasiswa membuat produk yang sama seperti di industri, lalu si tahun ketiga dan keempat magang agar siap kerja. Bahkan untuk penilaian akhir, dari sisi dukungan pada produktivitas industri.

“Suasana industri sudah dirasakan mahasiswa sejak awal. Dengan demikian, mereka siap bekerja dengan karakter yang dibutuhkan industri,” kata Paul.

Direktur Program Pendidikan Vokasi Universitas Indonesia Padang Wicaksono mengatakan, lulusan vokasi di UI ada yang nol bulan menunggu masa kerjanya. Jika program studi sesuai kebutuhan pasar, maka permintaan tenaga kerja tinggi, bahkan sebelum lulus mahasiswa sudah mendapat tawaran kerja.

Pada 2023, tiga program studi terpopuler masa tunggu lulusan nol bulan di program vokasi UI adalah manajemen rekod dan arsip, administrasi perpajakan, dan okupasi terapi. Dengan teaching factory, kecakapan hardskills dan softskills mahasiswa dibangun sejak di kampus.

Rektor Universitas Yarsi Fasli Jalal mengatakan keselarasan atau link and match pendidikan vokasi dan industri harus diwujudkan.

Pendidikan vokasi harus memastikan lulusan yang memiliki kemampuan berpikir analitis, siap untuk terus dilatih atau terus belajar, dan kuat dalam softskills yang dibutuhkan dalam dunia kerja.

“Karena itu, perlu untuk dipetakan mana yang menjadi tanggung jawab institusi pendidikan, transisi dari pendidikan ke dunia kerja, dan ketika di dunia kerja,” kata Fasli menandaskan. (Tri Wahyuni)