JAKARTA (Suara Karya): Rencana pemerintah menaikkan tarif cukai rokok sebesar 23 persen dan harga eceran tertinggi rokok hingga 35 persen pada 2020 disambut positif berbagai kalangan. Namun, disayangkan kenaikan harga rokok bukan pada jenis sigaret kretek mesin (SKM) yang segmennya paling besar yaitu 63 persen.
“Jika ingin terjadi penurunan jumlah perokok remaja, naikkan harga rokok di segmen SKM. Jangan 35 persen, tetapi 50 persen. Kebijakan itu akan memberi dampak,” kata Wakil Kepala Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah, Fakultas Ekonomi Bisnis (FEB), Universitas Indonesia (UI), Abdillah Ahsan dalam diskusi media, di Jakarta, Selasa (17/9/2019).
Diskusi tentang rencana kenaikan tarif cukai dan harga rokok pada 2020 itu menghadirkan narasumber Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P), Kementerian Kesehatan, Anung Sugihantono dan peneliti dari Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), Yurdhina Meilissa.
Abdillah menjelaskan, ada tiga jenis industri rokok di Tanah Air yaitu sigaret kretek tangan (SKT), sigaret kretek mesin (SKM) dan sigaret putih mesin (SPM). Dari ketiga jenis rokok itu, pangsa terbesar ada pada SKM. Besarannya mencapai 63 persen dari total populasi perokok di Indonesia.
“Dan hampir 100 persen perokok remaja kita ada di segmen SKM. Saya pikir kenaikan harga rokok hingga sebesar 35 persen itu pada segmen SKM, ternyata pada segmen SKT yang populasinya tidak banyak. Sayang sekali kebijakan pemerintah yang bagus ini, jadi tak tepat sasaran,” ujarnya.
Ditambahkan, jumlah perokok remaja di Tanah Air sudah mengkhawatirkan. Karena angkanya terus meningkat setiap tahun, dari 7,1 persen pada 2017 menjadi 9,2 persen pada 2018. Jumlah perokok perempuan pun naik dari 2 persen pada 2017 menjadi 4 persen pada 2018. Dan 70 persen laki-laki di Indonesia usia 25-45 tahun adalah perokok.
“Momentum kenaikan harga rokok ini harusnya memberi dampak pada penurunan jumlah perokok di Indonesia, terutama di kalangan remaja. Padahal sebelumnya pemerintah menargetkan penurunan dari 7,1 persen menjadi 5 persen pada 2018 lalu. Disayangkan targetnya tak tercapai,” kata Abdillah.
Ia berharap pemerintah melakukan koreksi atas besaran kenaikan harga rokok dan segmen sasarannya. Jika pemerintah berani, naikkan harga rokok SKM hingga Rp60-70 ribu per bungkus. Dijamin, jumlah perokok terutama di kalangan remaja akan menurun drastis.
Hasil penelitian yang dilakukan Pusat Kajian Jaminan Sosial (PKJS) UI pada September 2019 menunjukkan 78 persen reponden mengaku akan berhenti merokok dan 12 persen akan beralih ke rokok merek lain yang harganya lebih murah, jika rokok naik menjadi Rp60 ribu per bungkus.
“Hasil penelitian ity menunjukkan kecenderungan penduduk miskin beralih ke rokok lebih murah, karena dampak adiksi rokok. Sehingga perokok sulit berhenti. Karena itu dibutuhkan kebijakan yang kuat untuk mengendalikan konsumsi rokok di Indonesia,” tuturnya.
Apresiasi serupa juga disampaikan Dirjen P2P Kemkes, Anung Sugiantono. Katanya, menaikkan tarif cukai dan harga rokok dapat mengurangi konsumsi rokok di kalangan muda. Namun, hal itu bukan satu-satunya cara.
“Saya ditanya wartawan, bapak bisa jamin kalau harga rokok naik bakal menurunkan jumlah perokok remaja. Secara teori dan empiris, kenaikan itu bisa menurunkan jumlah perokok. Tetapi itu bukan satu-satunya cara. Harus didorong kebijakan lainnya,” ujar Anung.
Faktor lainnya, Anung menyebutkan, perlu ada peraturan yang melarang remaja beli rokok dan pengawasan ketat atas peraturan tersebut. “Jika remaja masih mudah beli rokok, kenaikan itu bisa diakali dengan membeli secara patungan. Tetap harus ada pembatasan lain agar remaja tak mudah dapat rokok di pasaran,” ujarnya.
Ditanya remaja bakal beralih ke rokok elektronik atau vape, kemungkinan itu bisa saja terjadi. Namun, selagi harga vape masih lebih mahal dibanding harga rokok, maka remaja tetap bisa merokok dengan membeli secara eceran.
Sementara peneliti dari CISDI, Yurdhina Meilissa menilai, kepentingan industri sering menjadi alasan tidak optimalnya kenaikan cukai dan kebijakan pengendalian tembakau lainnya di Indonesia. Padahal, kajian Bank Dunia menekankan dampak kenaikan cukai pada konsumsi rokok. Penerimaan negara juga jauh lebih tinggi dibanding dampaknya pada sektor industri dan tenaga kerja.
“Kajian menunjukkan kenaikan harga rokok akan menurunkan sekitar 10 persen dari perokok, sementara pendapatan negara dari cukai hanya naik sekitar 10 persen. Dan dampaknya terhadap sektor pekerja hanya 0,5 persen. Karena industri rokok saat ini banyak menggunakan mesin,” ujarnya.
Di sisi lain, lanjut Meilissa, peningkatan perokok anak dan beban ekonomi akibat konsumsi rokok sudah sangat mengkhawatirkan. Upaya pengendalian konsumsi tembakau perlu daya ungkit yang kuat dari kebijakan cukai tembakau.
“Karena itu kami dukung rencana pemerintah menaikan tarif cukai dan harga rokok untuk pembangunan SDM yang lebih unggul,” kata Meilissa menandaskan. (Tri Wahyuni)