
JAKARTA (Suara Karya): Program pengadaan laptop merah putih senilai Rp17 triliun oleh Kemendikbudristek tidak akan berdampak pada peningkatan mutu pendidikan Indonesia, jika tidak didukung perencanaan yang matang dan menggunakan data-data serta kajian akademis.
“Digitalisasi pendidikan itu tak sekadar pengadaan laptop, berikan ke sekolah, lalu kelar,” kata pemerhati pendidikan dari Vox Point Indonesia, Indra Charismiadji dalam diskusi di Radio RRI Pro 3, Jumat (30/7/21)
Indra menyebut ada 3 komponen yang harus disiapkan bersamaan dalam implementasi program digitalisasi pendidikan yaitu infrastruktur, Infostruktur dan Infokultur. “Laptop itu bagian dari infrastruktur, lantas bagaimana dengan infostruktur dan infokulturnya,” kata Indra mempertanyakan.
Menurut Indra, jika infostruktur dan infokulturnya tidak disiapkan secara bersamaan, maka nasibnya akan sama seperti kegagalan program 1Bestarinetnya Malaysia atau program pengadaan tablet di Thailand.
Sebagaimana dilansir dalam media New Straits Times pada 9 September 2016, 1Bestarinet adalah sebuah mega proyek pemerintah Malaysia dengan anggaran berkisar Rp14 trilyun untuk penyediaan konektivitas internet dan menciptakan lingkungan belajar virtual (virtual learning enviroment) pada 10.000 sekolah di Malaysia.
“Pengadaan laptop chromebook dan Learning Management System (LMS) menjadi bagian dari proyek itu. Saya kebetulan ikut bantu “cuci piring’ dengan proyek ini di Malaysia. Infrastrukturnya disiapkan, Infostrukturnya disiapkan dengan LMS tapi Infokulturnya tidak disentuh sama sekali,” tuturnya.
Ditambahkan, laptop pembagian dari pemerintah tersebut akhirnya banyak tidak digunakan, karena guru tidak tahu cara memanfaatkannya dengan optimal.
“Tim saya waktu itu terjun melatih dan mengimplementasikan lingkungan belajar virtual di sekolah-sekolah dasar jenis kebangsaan Cina, ini juga karena orang tua mau membayar. Saya tidak bisa membayangkan apa yang terjadi dengan Indonesia yang hanya menyiapkan laptop chromebooknya saja,” ucap Indra.
Proyek 1Bestarinet pada akhirnya dihentikan oleh pemerintah Malaysia pada 2019, karena berdasarkan hasil audit, hasilnya jauh dibawah harapan.
Menurut Indra, Indonesia lebih baik mengikuti jejak Singapura yang membuat perencanaan awal yang matang dengan ICT Masterplan in Education (Rencana Utama Digitalisasi Pendidikan) sejak 1997 dibanding Malaysia atau Thailand, yang lebih mementingkan proyeknya daripada nilai manfaatnya.
“Malaysia sudah jelas-jelas gagal dengan proyek chromebooknya. Sekarang kita mau menjalankan proyek yang sama di tengah pandemi pula. Jangan sampai Indonesia kejeblos di lobang yang sama Itu bodoh sekali namanya,” ujar Indra.
Ia berharap Kemdikbudritek membuat kajian yang melibatkan publik, pakar-pakar pendidikan dan pakar-pakar IT. Disayangkan jika Kemdikbudristek membuat kebijakan dengan anggaran yang sangat besar, tanpa didukung riset.
“Singapura yang besarnya hanya seperti satu kecamatan di Indonesia, hanya memiliki 300-an sekolah, punya perencanaan digitalisasi pendidikan yang matang dan terukur dengan ICT Masterplan in Educationnya,” tuturnya.
Sementara Indonesia, lanjut Indra, negara demgan 17 ribu pulau, 260 ribu sekolah, 50 juta siswa, tidak memiliki perencanaan sama sekali. Singapura sekarang sudah masuk fase ke-4 dalam masterplan tersebut dan didalamnya lengkap bagaimana infrastruktur, infostruktur, dan infokulturnya.
“Kalau kita hanya fokus ke pengadaan laptop, tanpa ada kajian yang kompresensif, ya siap-siap saja uang rakyat akan terbuang sia-sia,” kata Indra menegaskan. (Tri Wahyuni)