Pengamat: Pemindahan Ibu Kota Negara, Pertanda Dimulainya Periode ‘Post Java’

0
Menteri LHK, Siti Nurbaya Bakar (tengha) memimpin FGD tentang Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) didampingi Irjen KLHK, Laksmi Wijayanti, dan pemerhati masalah lingkungan hidup, dan konservasi alam, Judith J. Dipodiputro (kiri) di Kantor KLHK, Jakarta, Rabu (18/9/2019).

JAKARTA (Suara Karya): Rencana pemindahan Ibukota Negara ke Kalimantan Timur, masih menjadi pembicaraan menarik berbagai kalangan. Pasalnya, rencana tersebut tidak serta merta bisa dilakukan tanpa melalui sejumlah kajian. Terlebih lagi, dipindahnya ibukota negara, akan berdampak pada seluruh aspek politik, ekonomi dan sosial budaya.

“Kalau saya menyebut saat ini periode ‘Post Java’. Dimana telah terjadi perubahan mendasar peta politik dan kekuasaan di Tanah Air, yang semula berpusat pada tradisi dan gagasan  Kebudayaan Jawa di tingkatan kekuasaan elite, kini beralih pada kekuasaan rakyat, atau kekuasaan  yang bersifar egaliter,” ujar pengamat sosial politik, Fachry Ali, dalam Focus Grup Discussion (FGD) tentang kajian Lingkungan Strategis (KLHS) Pemindahan Ibukota di Kalimanatan Timur yang diselenggarakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan  (KLHK), di Jakarta, Rabu (18/9/2019).

Fachry mengungkapkan, ketika Presiden Jokowi  mengumumkan pemindahan Ibu Kot Negara dari Jakarta ke Kalimantan Timur pada Senin (26/82019) lalu, maka dimulailah periode yang disebut Post Java. Ibu Kota baru Indonesia itu tepatnya sebagian di Kabupaten Penajam Paser Utara dan sebagian di Kabupaten Kutai Kartanegara Provinsi Kalimantan Timur.

Fachry  Ali mengungungkapkan itu saat memberikan masukan dan pandangannya pada acara FGD dipimpin Menteri  LHK, Siti Nurbaya, sedangkan paparan KLHS disampaikan Irjen KLHK, Laksmi Wijayanti dan juga pandangan dari Judith J. Dipodiputro, pegiat pemberdayaan ekonomi suku-suku asli dan masyarakat termarjinalkan.

Lebih jauh Facry Ali mengatakan, dalam gagasan politik Jawa itu, kekuasaan  sangat ellitis dan  penguasa berada di tengah atau di atas rakyat. Pandangan itu dalam jangka waktu sangat lama memperngaruhi politik dan kekuasan di Tanah Air. Tetapi ketika situasi politik berubah yakni reformasi yang membuka kesempatan setiap rakyat bisa tampil dan bertarung dalam kontestasi politik, baik Pilkada maupun Pilpres, berangsur gagasan politik Jawa berubah.

“Tapi perubahan drastis terjadi saat Jokowi terpilih sebagai Presiden, terutama ketika dia menegaskan akan memindahkan Ibu Kota Jakarta ke Kalimantan, dan kemudian secara resmi mengumumkan tempat ibu kota baru yakni di Kalimantan Timur, maka saya menilai, berakhirlah era kekuasaan Jawa,” papar Fachri Ali menjawab pertanyaan usai FGD.

Jadi, kata Fachry, Jokowi adalah pemimpin yang dipilih oleh rakyat, bukan penunjukan dari elite. Jadi dia murni pemimpin yang berasal dari rakyat. Meski sebelumnya Susilo Bambang Yudhoyono juga dipilih oleh rakyat dalam Pilpres langsung  2004 dan 2009, tetapi pandangan dan kebijakannya masih bergantung pada pola gagasan kekuasan Jawa.

Mengenai FGD yang diselenggarakan KLHK, Fachry Ali sangat memuji, bukan saja karena srikandi yang berbicara memimpin FGD semuanya sangat pandai, tetapi posisi KLHK sangat penting dan strategis, mengingat dalam perbincangan publik mengenai pemindahan Ibu kota, fokus masyarakat baik di Indonesia maupun di dunia pada aspek lingkungan dan daya dukung wilayah Kalimantan.

“Inisiatif  KLHK mengumpulkan elemen masyarakat yang ahli dalam berbagai bidang sangat baik dan strategis dan banyak masukan yang bernas dari FGD ini, jadi saya sangat mendukung KLHK untuk terus menggelar FGD yang lebih fokus lagi sehingga sejarah baru pemindahan ibu kota dan awal periode Post Java berjalan mulus,” ujar Fachry Ali.

 Sosialisasi Tata Ruang

Irspektur Jenderal  KLHK, Laksmi Wijayanti  mengungkapkan, dalam proses pemindahan Ibu Kota ini, kita Sementara itu harus melihat bagaimana posisi Kalimantan Timur dalam konteks Indonesia secara keseluruhan, bagaiaman dispraitas terhadap provoinsi lainnya sehingga kita bisa menganalisasi berbagai hal dengan valid.

“Visi kita, semua pembangunan dan persiapan ibu kota harus green dan juga membangun kebiasaan dan budaya jalan kaki lebih dipraktekkan,” katanya.

Pihak KLHK akan terus melakukan FGD dengan para ahli dan lebih fokus agar daya dukung lingkungan makin memadai. ”Kita juga mendapatkan banyak informasi terkait pemindahan ibukota ini. Identifikasi maslaah seprti kekhawatiran hutan Kalimantan rusak, ketajutan air bersih yang sulit, reaksi dunia luar atas hutan Kalimantan yang bisa rusak. Karena itu perlu kita sosialisasikan bagaimana tata ruang dna juga infrastruktur di sana,” katanya.

Sementara pegiat pemberdayaan ekonomi suku-suku asli dan masyarakat termarjinalkan, Judith J. Dipodiputro mengatakan dirinya sangat menghargai undangan Ibu Menteri LHK Siti Nurbaya pada  100 eksekutif dari berbagai sektor. Baik yang bertugas di tingkat nasional, maupun daerah. Termasuk juga beberapa  yang  bertugas di luar negeri

“Walau kami hadir sebagai pribadi, namun menghasilkan FGD yang kaya juga karena kemajemukan latar belakang profesi dan sektor,” ujar Judith yang juga pemerhati masalah lingkungan hidup, konservasi alam serta pernah bertugas di

Menurut Judith, Kalimantan Timur cukup porak-poranda akibat pertambangan. Ini berdampak terhadap kualitas hidup masyarakat dan kemiskinan.  Bahwa Ibukota baru akan menjadi Rainforest City, itu komitmen yang luar biasa. Artinya akan terjadi reklamasi/pembenahan bekas-bekas tambang dan reforestasi.

Nah, hal ini belum banyak terungkap ke publik sehingga perlu dikomunikasikan kepada masyarakat. Ini komitmen luar biasa dari pemerintah terhadap restorasi dan konservasi alam.

Komunikasi ini juga perlu dilakukan secara aktif ke dunia internasional melalui perwakilan-perwakilan kita di manca negara. Ada salah persepsi dan pengetahuan. Dunia berpikir bahwa Ibukota baru akan membuka hutan, padahal sebaliknya: merestorasi bekas tambang dan melakukan reforestasi.

“Yang amat menarik dan menjadi pencerahan dari FGD tadi adalah adanya beberapa peserta yang mewakili aspirasi suku asli, antara lain rekan dari propinsi Papua (Ibu Rosaline Rumaseuw) dan dari suku betawi (Ibu Imas Shidiq). Suara mereka menyarankan perlunya pemerintah mempertimbangkan membentuk sebuah tim yang secara khusus dan fokus pada penyertaan suku-suku asli dalam growth yang akan dihasilkan oleh kehadiran Ibukota baru,” ujar Judith.

Kemudian kata Judith, ada tantangan kita semua untuk membawa konsep kebhinekaan selangkah lebih jauh lagi: yaitu konsekwen bahwa kita tidak saja bhinneka dari aspek kesukuan, tetapi juga dari pilihan pola hidup. Masih ada saudara kita di Kalimantan yang secara sadar memilih untuk tidak berkehidupan dalam peradaban abad 21 ini.

“Mereka memilih untuk berkehidupan peradaban yang lebih sederhana, mungkin peradaban 100-200 tahun lalu. Dalam konsep keadilan sosial, Pemerintah harus siap mengakomodasi permintaan suku-suku asli untuk memilih kehidupan yang mereka pahami dan inginkan (the life they want and the life they understand),” ujarnya. (gan)

 

 

Caption foto (duduk bertiga di depan)

Menteri LHK, Siti Nurbaya Bakar (tengha) memimpin FGD tentang Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) didampingi Irjen KLHK, Laksmi Wijayanti, dan pemerhati masalah lingkungan hidup, dan konservasi alam, Judith J. Dipodiputro (kiri) di Kantor KLHK, Jakarta, Rabu (18/9)

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here