Pengamat Perbankan: Meski Sesaat, Pertumbuhan Kredit UMKM Cenderung Menurun

0

JAKARTA (Suara Karya): Kecenderungan pertumbuhan kredit Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di tengah risiko kredit yang membaik, dinilai melambat. Namun hal itu dianggap hanyalah faktor ‘temporary’ alias janga pendek atau berlangsung hanya sesaat.

Pernyataan tersebut, dikemukakan Corporate Secretary & Chief Economist BNI, Ryan Kiryanto, saat berbicara dalam Diskusi Panel bertajuk ‘Proyeksi Perekonomian 2019, Peluang dan Tantangan bagi KUKM’, di kantor Kementerian Koperasi dan UKM, Jakarta, Rabu (7/11/2018).

“Kita harus cermati, apakah betul di market, riil demand terhadap produk-produk UKM itu menurun? Saya kira ini hanyalah faktor temporar ya, jangka pendek alias sesaat. Itu dugaan saya. Ke depan, masuk kuartal I 2019, demand untuk UMKM saya yakin akan naik lagi. Nanti begitu segmen korporasi besarnya sudah mulai ‘growing’ lagi, UKM itu akan ikut terdorong. Karena apa? Ini implementasi dari konsep: Yang besar gandeng yang tengah, yang tengah gandeng yang kecil,” ujar Ryan.

Dia mengibaratkan lokomotif. Artinya, kata Ryan, jika korporasi besarnya mulai bergerak, maka yang tengah dan yang kecil akan ikut bergerak. “Jadi ini faktor sesaat atau jangka pendek. Ini saya lihat sudah mulai membaik lagi dalam konteks pertumbuhan kredit segmen UMKM,” ujarnya menambahkan.

Namun demikian, Ryan menyatakan perlunya meningkatkan kewaspadaan, sektor-sektor ekonomi mana yang perlu waspadai.

“Kita harus melakukan ekstra hati-hati dalam pembiayaan, terutama di sektor perdagangan, konstruksi, dan pertambangan. Artinya, bank-bank di Indonesia harus ekstra hati-hati untuk mendanai tiga sektor ini, tapi bukan berarti perbankan tidak membiayai. Hanya saja perbankan lebih selektif,” ujarnya lebih lanjut

Karena, menurut dia, tidak seluruh pelaku di tiga sektor ini mengalami permasalahan terkait kredit pembiayaan. “Memang ada beberapa yang bermasalah, tapi sebagian bersar bermasalah. Nah yang tidak bermasalah ini menjadi target pasar bagi pendanaan perbankan,” ujar Ryan lebih lanjut.

Dia mencatat, hingga Oktober 2018, angka pertumbuhan kredit industri perbankan di Indonesia sebesar 12,6 persen. “Menurut kami, ini angka yang cukup tinggi dibandingkan tahun lalu yang tumbuh ‘single digit’. Ini angka bagus dimana Indonesia bisa tumbuh ‘double digit’ di tengah tekanan ekonomi kita tahun ini ini,” ujarnya.

Dia mengatakan, ada tiga sektor yang mendorong pertumbuhan kredit perbankan di Indonesia. Yakni sektor pertanian dalam arti luas, sektor manufaktur atau industri, dan sektor perdagangan baik skala besar, kecil maupun menengah. Tiga sektor utama inilah, katanya, yang menyerap volume kredit terbesar di Indonesia.

“Nah saya senang, kalau manufaktur masih menyerap kredit terbesar, sektor perdagangan menyerap kredit terbesar, berarti betul bahwa ekonomi Indonesia memang berjalan pada track-nya,” ujar Ryan.

Yang paling menarik, menurut dia, kredit tumbuh cukup baik terjadi di Jawa, sebagian di Sumatera, sebagian Indonesia Timur, kecuali Kalimantan.

“Kalimantan Timur, pertumbuhannya memang masih agak seret, karena dampak perlambatan kenaikan harga batubara, sehingga membuat pertumbuhan ekonomi di Kalimantan Timur itu relatif rendah,” katanya.

Artinya, menurut Ryan, jika suatu daerah pertumbuhan kredit kencang, maka dia memastikan, pertumbuhan ekonomi di daerah itu juga tinggi. Karena secara teori, pertumbuhan kredit mendorong pertumbuhan ekonomi. (Gan)