Pengamat TIDI Apresiasi Kerja Komisi I Selesaikan RUU PSDN

0
Direktur Eksekutif The Indonesian Democracy Initiative (TIDI), Arya Sandhiyudha.

JAKARTA (Suara Karya): Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengelolaan Sumber Daya Nasional (PSDN), telah disepakati DPR dan pemerintah dibawa ke paripurna untuk disahkan mendadi UU.

Kesepakatan itu, berdasarkan kesimpulan rapat kerja antara Komisi I DPR dengan Kementerian Pertahanan. RUU tersebut mengatur tentang bela negara untuk masyarakat sipil sebagai komponen cadangan militer.

Demikian dikemukakan Ketua Komisi I DPR Abdul Kharis, di gedung DPR, Jakarta, Senin (23/9/2019). Dia menjelaskan, untuk mempertahankan kedaulatan negara, tidak mungkin hanya ditangani militer.

“Jadi, kalau negara terancam atau untuk mempertahankan kedaulatan negara ini, tidak mungkin bisa ditangani hanya oleh militer. Tidak cukup, sehingga sistem pertahanannya adalah sistem pertahanan rakyat semesta. Jadi semua rakyat berhak ikut bela negara,” kata Kharis, kepada wartawan, di Gedung DPR RI, Senin (23/9/2019).

Menanggapi hal itu. Direktur Eksekutif The Indonesian Democracy Initiative (TIDI), Arya Sandhiyudha mengapresiasi kesepakatan antara pemerintah dan DPR terkait RUU PSDN.

“Ini menjadi sejarah baru, karena sejak adanya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, 17 tahun yang lalu, baru pada Komisi I DPR RI periode 2014-2019 inilah dapat diselesaikan RUU tersebyut yang mengatur Bela Negara, Komponen Pendukung (Komduk) dan Komponen Cadangan (Komcad)

Dia memandang, semua prinsip masukan masyarakat sipil terkait demokrasi, hak asasi manusia (HAM), dan supremasi sipil, masuk dalam RUU ini. Kedua pihak, baik Pemerintah maupun DPR RI dinilainya akomodatif dan peka terhadap aspirasi yang berkembang.

Tak hanya itu, Arya menjelaskan, RUU ini dinilai juga telah sukses mengakomodir aspirasi ketika telah memasukkan penegasan bahwa Komcad sifatnya sukarela, bukan wajib.

“Yang diwajibkan nanti hanya pendidikan Bela Negara. Kalau latsarmil sebagai Komcad tidak wajib tapi sukarela untuk mendaftar. Nampaknya, skema usulan Komisi I disepakati sebagai mekanisme,” ucapnya menambahkan.
Baca Juga : Pengamat Politik, Pangi Sarwi Chaniago : Salim Segaf Al Jufri bisa terseret pidana Soal pemecatan Fahri Hamzah

Menurut dia perubahan tersebut yang membuat akhirnya dalam RUU terkini Komcad bersifat sukarela dengan cara mendaftarkan diri.

Ia berpendapat, untuk negara Indonesia memang paling tepat memilih model voluntary (sukarela) seperti di Kanada, Inggris, dan Australia.

Negara yang menerapkan wajib militer, lanjut Arya, biasanya punya 2 alasan, pertama adalah ukuran geografis dan populasinya sangat kecil seperti Singapura. Bisa juga punya persepsi potensi perang yang sangat tinggi, diantaranya seperti Mesir, Israel, Turki, Iran, Korea Utara, Korea Selatan, Amerika Serikat, dan Rusia.

Adapun terhadap kekhawatiran kedua yaitu mengenai kritik tidak ada opsi bagi Komcad menolak ketika mobilisasi. Sedangkan sewaktu sudah menjadi Komcad lalu ada mobilisasi tentu tidak ada opsi lain.

“Di semua negara begitu, termasuk negara-negara demokrasi. Kalau nggak mau ya jangan daftar Komcad. Justru itukan tujuannya seorang mendaftar Komcad,” sebut Master bidang Studi Strategis Nanyang Technological University (NTU) Singapura itu.

Menurutnya, mobilisasi dalam RUU ini juga telah diatur sedemikian rupa, “Mobilisasi hanya dalam darurat dan dalam proses pembahasan RUU akhirnya dimasukkan klausul musti ada persetujuan DPR RI,” tukasnya.

Arya yang merupakan Doktor bidang Ilmu Politik dan Hubungan Internasional ini kembali menilai, bahwa prinsip sukarela untuk menjadi Komcad sudah cukup dianggap menghormati HAM. (gan)