Suara Karya

Pengemudi Angkutan Online Mengeluh

JAKARTA (Suara Karya): Kendati profesi ojek online belum menjanjikan masa depan yang lebih baik, namun sekiar  70 persen tidak melakukannya sebagai pekerjaan sampingan. Demikian, antara lain, hasil survei tentang Kesejahteraan Pengemudi Angkutan Online yang dilaksanakan oleh Institut Studi Transportasi (IST) pada September– November 2018.

“Survei dilakukan di  wilayah Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi), Yogyakarta, Surabaya, dan Bali.  Selama ini muncul klaim dari aplikator bahwa sifat pekerjaan pengemudi online adalah pekerjaan sampingan,” kata Ketua IST Darmaningtyas, di Jakarta,  Rabu.

Artinya kata Daia, mereka itu memanfaatkan kendaraannya untuk usaha produktif di sela-sela menjalankan pekerjaan pokoknya, apakah sebagai aparatur sipil negara, karyawan swasta, ataupun wiraswastawan.
Klaim itu untuk menjelaskan tentang model ekonomi berbagi (economic sharing) yang berkembang akhir-akhir ini.

Menurut Darmaningtyas,  survei menunjukkan bahwa  231 dari 300 (77%) responden pengemudi taksi online menjadikan profesi baru itu sebagai pekerjaan utama. “Hanya 60 orang responden (23%) yang menjawab pekerjaan pengemudi taksi online sebagai pekerjaan sampingan,” ujarnya, didampingi peneliti Heranisty Nasution.

Hal yang sama juga ditunjukkan dalam survei terhadap pengemudi ojek online (ojol). “Untuk ojol, 71,7 persen dari 300 responden menjawab sebagai pekerjaan utama, hanya 28,3 persen saja yang menjawab sebagai pekerjaan sampingan,” katanya.

Dengan demikian, klaim tentang ekonomi berbagi itu hanya benar 23 persen untuk pengemudi taksi online dan 28,3 persen untuk ojol.

Darmaningtyas menyebutkan, sifat pekerjaan itu sangat berpengaruh terhadap penilaian tingkat kesejahteraan. Mereka yang betul-betul menjalankan ekonomi berbagi, mungkin tidak terlalu bermasalah dengan kebijakan aplikator mengenai pentarifan karena tidak berfikir soal cicilan kendaraan, pemeliharaan dan bayar asuransi.

Hal itu karena mereka mendapat uang atau tidak dari penumpang, mereka tetap akan melakukan itu semua sebagai tanggung jawab.

Bagaimana latar belakang sebelumnya dari para pengemudi taksi online, menurut Darmaningtyas, sebelumnya pekerjaan mereka beragam. Sebanyak 43,29 persen sebagai karyawan swasta,  82 35,50 persen sopir taksi, sopir angkutan, dan sopir pribadi. Sementara 11,69 persen mengaku sebagai wiraswastawan. “Hanya sedikit sekali yang sebelumnya sebagai ASN, buruh, freelance, pelajar, dan yang sebelumnya tidak bekerja,”  tuturnya.

Sedangkan untuk pengemudi ojek online (ojol) sebanyak 36,74 persen sebelumnya sebagai karyawan,  19,07 persen buruh, dan 13,49 persen wiraswasta. “Selebihnya ada yg satpam, anggota TNI/Polisi, serabutan, teknisi, pelayaran, ibu rumah tangga, sopir pribadi, dan lainnya. Hanya 5,58 persen saja yang mengaku sebelumnya tidak bekerja,” kata Darmaningtyas.

Data ini juga mengoreksi klaim aplikator bahwa mereka telah menciptakan lapangan kerja baru. Sehingga, klaim itu hanya betul bagi 4,33 persen pengemudi taksi online dan 5,58 persen bagi ojek online. Selebihnya, lebih tepat dikatakan memberikan opsi pekerjaan baru saja.
“Ini dua hal yang berbeda. Kalau penciptaan lapangan kerja baru itu berarti sebelumnya tidak ada sama sekali, sedangkan kalau opsi pekerjaan baru memiliki makna, pekerjaan lain tersedia, tapi ini ada pilihan lain,” katanya.

Bagi mereka yang menjadikan pengemudi taksi online sebagai pekerjaan utama? Ternyata mayoritas, 66,3 persen, mereka mengaku tidak memiliki pekerjaan sampingan. Hanya, 7,7 persen saja yang memiliki kerja sampingan. Sedangkan 26 persen tidak menjawab. “Ini artinya, menjalankan bisnis angkutan online adalah penopang utama ekonomi keluarga,” katanya.

Untuk yang menjadikan pengemudi ojek online sebagai pekerjaan utama, sebanyak  65,7 persen mengaku tidak memiliki kerja sampingan, 29,3 persen tidak menjawab, dan hanya 5 persen yang memiliki pekerjaan sampingan.

Konsekuensi logis dari pengemudi online sebagai pekerjaan utama dan tidak ada pekerjaan sampingan itu adalah mereka sangat sensitif terhadap kebijakan-kebijakan aplikator yang terus berubah, baik menyangkut soal tarif, bonus, maupun suspend. Tarif yang terlalu rendah dan persyaratan untuk mendapatkan bonus diperberat menjadi beban baru bagi mereka.

Sebagian besar pengemudi online mengaku mengalami penurunan pendapatan, dibandingkan dengan pendapatan mereka saat memulai profesi di angkutan online.  Sebanyak 72,3 pengemudi taksi online mengaku pendapatannya menurun. Sedangkan di kalangan ojol sebanyak 68,7 persen menurun. “Besaran penurunan di kalangan taksi online bisa mencapai 50 persen dibandingkan dengan pendapatan awal profesi,” kata Darnaningtyas.

Penyebab penurunan dapat disebabkan oleh jumlah taksi online yang makin banyak karena aplikator terus menerima pendaftaran baru, tarif per km rendah atau turun, bonus diturunkan,  poin/target dinaikkan, faktor kemacetan lalulintas, konsumen berkurang dan perubahan kebijakan aplikasi.

Sedangkan faktor penyebab penurunan pada ojol juga hampir sama seperti pada taksi online. Namun, untuk ojol ada hal yang spesifik, yakni  penurunan pendapatan karena faktor
potongan dari aplikasi naik, adanya pengemudi curang (tuyul),
Poin/target dinaikkan, dan perang tarif antara  aplikator. (Mistqola)

Related posts