JAKARTA (Suara Karya): Pengusaha tambang nikel lokal di Sulawesi Tenggara terancam gulung tikar jika pemerintah mempercepat pemberlakuan larangan ekspor biji nikel, dimajukan dari rencana semula pada tahun 2022.
Herry Asiku, salah satu pengusaha tambang nikel di wilayah Konawe, Sulawesi Tenggara, berharap larangan ekspor biji nikel tidak dipercepat. Alasannya, jika pelaksanaan aturan itu dipercepat atau dimajukan, maka akan banyak pengusaha dalam negeri bakal terkena dampak langsung dari larangan ekspor biji nikel itu.
Hal itu karena para pengusaha nikel dalam negeri umumnya saat ini sedang membamgun smelter. Biaya pembamgunan smelter itu umumnya diperoleh dari hasil ekspor biji nikel. Peraturan yang ada sekarang ini membolehkan ekspor itu hingga tahun 2022.
Maka, jika mendadak dilakukan larangan ekspor biji nikel sekarang atau dalam waktu dekat ini, tentu akan membuat para pengusaha kehilangan sumber pembiayaan untuk pembuatan smelter.
“Saya sedang membangun 10 line smelter di Konawe, dan ini terancam mangkrak jika pemerintah memberlakukan larangan ekspor biji nikel,” kata Herry di Jakarta, Jumat (23/8/2019).
Dia berharap, pemerintah konsisten dengan aturan itu. “Dengan demikian, pemerintah memberi kesempatan kepada pengusahan nasional, putera-putera daerah yang mau peduli untuk membangun smelter. Ini memberikan mereka kesempatan.
Menurut dia, para pengusaha di daerah umumnya membiayai pembangunan smelter dari hasil ekspor biji nikel. Artinya, kalau larangan ekspor biji nikel itu tetap seperti rencana semula pada 2022, maka tidak ada masalah. Karena para pelaku usaha sudah memperhitungkan itu dalam menyusun rencana usahanya.
Dia mengungkapkan, modal untuk 1 line itu 10 juta dolar AS, dan pembiayaannya dibantu perbankan. “Tentunya mereka menginginkan utang-utang pembiayaan pembangunan smelter bisa terbayar,” ujarnya.
Sementera itu, Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) mengaku telah mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait larangan ekspor tersebut.
“Kami sudah bersurat resmi ke Presiden, Setneg, Wantimpres, KSP, Komisi VII, Kemendag, Kemenperin, Kemenkeu, Kementerian ESDM, Gubernur Sultra, Sulteng, dan Maluku Utara, Kapolri, BIN, BAIS,” kata Sekjen APNI, Meidy.
Dia menambahkan bahwa Presiden Jokowi sudah meminta pihak terkait menindaklanjuti surat APNI yang sudah diterima pada 5 Agustus lalu. Adapun isi surat yang dikirim ke Presiden berisi 3 poin.
“Surat diterima 5 Agustus tentang Tata Niaga Perdagangan Nikel, nilai tambah smelter sesuai UU 4/2009 dan ketahanan dan kesediaan bahan baku biji nikel ke depan,” ujarnya.
(Rizal Cahyono)