Suara Karya

Peran BNP2TKI ke Depan dengan UU Baru

Oleh: Ricky Rachmadi 

Apakah yang sebenarnya terjadi dengan sejumlah TKI (Tenaga Kerja Indonesia) kita di luar negeri, yang menjalani kasus hukuman mati dengan berbagai latarbelakang penyebab kasusnya yang tampak sulit terselamatkan baik dari penerapan eksekusi hukuman mati ataupun dengan cara membayar uang denda (diyat)?

Apakah pembelaan yang dilakukan dengan
menyewa para pengacara di negara setempat diakibatkan kurang berwibawa atau tidak memiliki pengaruh keahlian profesi yang hebat terhadap klien TKI yang dibelanya,  ataukah karena sistem hukum di negara tersebut yang memang sulit untuk membuat sang TKI lepas/bebas dari kasusnya?

Agaknya, memang, baik kasus maupun sistem hukum yang ada di negara setempat utamanya di Arab Saudi, dalam kasus pembunuhan yang diduga oleh TKI terhadap majikan atau keluarga majikan, justru cenderung menyebabkan TKI atau pengacaranya kerap kesulitan dan tak bisa berbuat banyak dalam mengupayakan
pembelaan/pembebasan, kecuali sebatas menjalani guna mendampingi para TKI di persidangan pada mahkamah awal hingga ke tingkat mahkamah utama/tertinggi di mana TKI terus terkena tuduhan dan bahkan ancaman hukuman mati, sehingga apabila keluarga
korban tidak memaafkan—dalam kasus di Arab Saudi–maka pilihan untuk membayar denda pun tidak lagi diprioritaskan dan TKI pun tetap terancam untuk menjalani eksekusi hukuman mati (pancung).

Lain halnya jika keluarga korban memberi keringanan dengan memaafkan pelaku dan bersedia mengganti kasusnya dalam bentuk pembayaran denda (diyat) yang jumlahnya disepakati oleh keluarga korban, maka sang TKI dapat terselamatkan dari hukuman mati dan tinggal kemudian sisanya menerima hukuman negara berupa penjara sambil menunggu pembebasan untuk TKI.

Di luar itu, akar permasalahan dalam kasus TKI yang mengalami ancaman hukuman mati akibat tuduhan pembunuhan majikan/keluarganya, juga patut dipertimbangkan menjadi penyebab tak langsung adalah terkait sistem rekrut calon TKI sejak di tanah air, yang sepenuhnya dilakukan oleh perusahaan pengerah jasa TKI. Perekrutan model sepihak ini pada umumnya hanya menempatkan perusahaan pengerah jasa TKI terlalu bebas sekaligus tidak mengikuti kepatuhan berdasarkan kewenangan aturan main ataupun dengan mengedepankan ketaatan terhadap perundang-undangan dalam mengupayakan proses penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri, terutama terhadap kewenangan yang dimiliki oleh
Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI).

Dalam kaitan inilah TKI sektor domestik/rumah tangga di luar negeri selamanya akan diposisikan sebagai korban. Akibat mengabaikan peran dan fungsi BNP2TKI ini pula, pada akhirnya berbagai permasalahan TKI muncul baik saat proses pra penempatan, penempatan,
atau saat masa perlindungan TKI di luar negeri. Inilah akibat sistem rekrut calon TKI sudah bermasalah dari awal karena pelaku usaha jasa TKI cenderung berkiblat untuk mendahulukan keuntungan/kepentingan perusahaan pengerah terkait jasa TKI, dan pada sisi lain dapat merusak kemartabatan TKI untuk dalam mendapatkan perlindungan yang optimal baik hak-hak ataupun pembelaan atas berbagai kasusnya dengan sebenar-benarnya.

Tentu saja diharapkan, karena kasus-kasus TKI pada umumnya terjadi meliputi para TKI sektor domestik/rumah tangga, maka dengan mengacu kepada Undang-undang baru No 18/2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia,
maka ke depan harus terus diupayakan skala prioritas dengan memperkuat penempatan TKI sektor formal berpendikan/berkeahlian, sehingga secara perlahan akan mampu mengurangi penempatan TKI sektor domestik/rumah tangga yang memang rawan dengan masalah hukum/kasus hukum/risiko penganiyaan baik kekerasan seksual ataupun fisik. Sedangkan dengan menggesa penempatan TKI sektor formal berpendikan/berkeahlian maka dengan sendirinya langkah pemartabatan TKI akan mudah diselenggarakan/terwujud selain hal itu akan mencipatakan rasa aman bagi
TKI itu sendiri, termasuk bagi penyelenggara negara yang mengurus TKI termasuk juga
untuk pihak pemerintah RI di sejumlah negara penempatan melalui wadah perwakilan RI masing-masing.

Seperti kita ketahui sekitar bulan Oktober pada 2018 lalu, Tenaga Kerja Indonesia yang bekerja di sektor domestik/rumah tangga di Arab Saudi asal Majalengka, Jawa Barat yaitu Tuti Tursilawati mengalami nasib naas dengan pelaksanaan eksekusi hukuman mati yang diterapkan kepadanya di negara tersebut, bahkan
kasus pelaksanaan hukuman mati ini tergolong mengecewakan dari sisi hubungan diplomatik antara pemerintah Indonesia dengan Arab Saudi, oleh karena sebelumnya tak pernah dilakukan pemberitahuan (notifikasi) terkait penerapan
hukumannya itu.

Karuan, nasib Tuti pun berakhir dalam pancungan hingga nyawanya tak tertolong sama sekali, setelah sekian lama terlebih dulu mendekam di dalam penjara.

Kasus Tuti adalah sederet kasus yang dialami oleh TKI sektor domestik tanah air yang bekerja di rumah tangga di luar negeri khususnya di Arab Saudi, yang mengalami bentuk penistaan oleh majikan ataupun upaya pemerkosaan pihak
majikan, dan akibat melawan atau mengupayakan pembelaan diri, maka Tuti harus
berjuang mempertahankan kehormatan diri hingga menyebabkan sang majikan menjadi korban denganberujung pada kematian.

Kasus Tuti ini mencuat ke permukaan sekitar tahun 2010. Tuti divonis hukuman mati oleh mahkamah/pengadilan Arab Saudi di tingkat pertama dan mahkamah di tingkat akhir/tertinggi pada Juni 2011 memperkuat vonis/tuduhan bahwa Tuti telah membunuh majikan, namun pembunuhan tersebut sebetulnya dilakukan tanpa suatu kesengajaan kecuali semata-mata melakukan pembelaan diri atas upaya pemerkosaan majikan terhadap dirinya, apalagi Tuti sendiri kerap mendapatkan
perlakuan tidak senonoh berupa pelecehan seksual dari majikannya.

Upaya pembelaan kepada Tuti, sang TKI naas ini, pun telah dilakukan dengan ujung tombak melalui Perwakilan RI di luar negeri (KBRI/KJRI) dengan cara menyewakan pengacara setempat, dan peran ini tidak dilakukan sendirian oleh
perwakilan RI tetapi dengan melibatkan kerjasama lembaga di Indonesia yang juga
memfasilitasi pelayanan penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri, yakni
Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI).

Hanya saja, sebagaimana kasus-kasus lain yang meliputi persoalan hukum TKI utamanya dalam kasus ancaman hukuman mati terhadap TKI (akibat tuduhan pembunuhan majikan/keluarga majikan), maka kerap terjadi nasib TKI tak urung terselamatkan, meski pun ada pula kasus TKI lain yg terselamatkan dibebaskan dari ancaman
hukuman mati seperti terjadi pada TKI Darsem asal Subang, Jawa Barat atau TKI Wilfrida asal Nusa Tenggara Timur (NTT). Darsem adalah TKI yang bekerja di Arab Saudi sedangkan Wilfrida merupakan TKI yang bekerja di Malaysia.

Penulis adalah, Ketua DPP Partai Golkar Bidang Ekokraf, Pemerhati Ketenagakerjaan

Related posts