Suara Karya

PGRI: Kebijakan Pembagian Kewenangan Dikdasmen Harus Ditinjau Ulang

JAKARTA (Suara Karya): Sudah waktunya kebijakan pemerintah soal pembagian kewenangan pendidikan dasar dan menengah (dikdasmen) antara provinsi, kabupaten/kota dievaluasi. Karena dalam praktiknya, sering terjadi lempar tanggung jawab.

“Dampaknya, pengelolaan sekolah di daerah jadi tak terintegrasi. Ini berbahaya jika dibiarkan terus. Karena pendidikan seyogyanya menjadi tanggung jawab bersama,” kata Ketua Umum Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Unifah Rosyidi kepada wartawan, di Gedung Guru Jakarta, Rabu (22/5/2019).

Ia pada kesempatan itu didampingi Sekjen PGRI, Qudrat Nugraha dan Wakil Sekretaris Yayasan Pembina Lembaga Pendidikan (YPLP) Pusat PGRI, Basyarudin Thayib.

Unifah menambahkan, perlu ada penjelasan lebih rinci tentang pembagian kewenangan antara provinsi dengan kabupaten/kota. Sehingga tak ada lagi kasus lempar tanggungjawab jika ada masalau. Karena para pihak memiliki tanggung jawab yang sama atas sekolah di daerahnya.

“Pembagian kewenangan otonomi daerah sebaiknya tidak pada level jenjang dan jenis. Misalkan, SMA dan SMK di provinsi, dan SD dan SMP di kabupaten/kota. Karena kewenangan itu menimbulkan segregasi di daerah,” ujarnya.

Untuk itu, Unifah menyarankan, perlunya dilakukan kajian otonomi terkait kebijakan itu. Pembagian peran lebih baik pada sisi layanan, misalkan pada fungsi manajemen. Bukan pada level jenjang dan jenis.

Selain itu, Unifah menilai, pembagian kewenangan pengelolaan sekolah seperti itu telah menimbulkan distribusi guru yang tak merata. Hal itu juga menciptakan disintegrasi pengelolaan pendidikan di daerah. “Karena tak heran jika daerah perkotaan dipenuhi guru-guru berkualitas,” ucapnya menegaskan.

Dampaknya, lanjut Unifah, kualitas pendidikan daerah perkotaan dan pinggiran menjadi timpang. Untuk itu, kewenangan harus dirumuskan bersama agar sukses dalam memperluas akses dan mutu pendidikan.

“Dengan demikian, tenaga kerja Indonesia tak lagi didominasi oleh lulusan SD dan SMP. Melainkan lulusan vokasi yang berdaya saing. Hal itu akan meningkatkan perekonomian bangsa,” ucap Unifah.

Ketua Umum PGRI pada kesempatan yang sama juga meminta pada presiden terpilih baru untuk mengatasi persoalan kekurangan guru dalam lima tahun kedepan. Karena pada masa itu, merujuk data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) tahun 2018 menunjukkan ada 441.133 guru yang akan pensiun.

“Formasi rekrutmen guru ke depannya, tidak hanya fokus pada pemenuhan kekurangan guru tetapi juga mempersiapkan guru baru sebagai pengganti guru pensiun,” tuturnya.

Hasil kesepakatan antarlembaga dan kementerian, kebutuhan guru akan dipenuhi lewat rekrutmen calon pegawai negeri sipil (CPNS) dan Pegawai Pemerintah dalam Perjanjian Kerja (P3K) setiap tahun. Pemerintah menargetkan penyelesaian masalah guru termasuk guru honorer berakhir pada 2024.

“Setelah itu, pemerintah mulai menyiapkan skema baru untuk rekrutmen guru berdasarkan analisis kebutuhan. Mulai dari proses rekrutmen, karier dan pelatihan. Sehingga guru dapat menjadi pembelajar sepanjang hayat sesuai dengan tuntutan kebutuhan abad 21 ini,” kata Unifah menandaskan. (Tri Wahyuni)

Related posts