Suara Karya

Politik jadi Pilihan Karir, Perlu Standar Kompetensi bagi Caleg!

JAKARTA (Suara Karya): Politik kini menjadi pilihan karir bagi kalangan muda. Hal itu terlihat dari baliho di sepanjang jalan untuk menarik perhatian masyarakat agar bisa terpilih menuju kursi legislatif bagi di tingkat kabupaten/kota, provinsi hingga tingkat nasional.

“Generasi muda sekarang tak lagi bersaing menjadi pegawai negeri sipil (PNS), karyawan BUMN atau swasta, tetapi juga menjadi calon legislatif. Ini sinyal positif untuk kehidupan demokrasi di Indonesia,” kata Ketua Umum Ikatan Alumni Universitas Indonesia (ILUNI UI), Didit Ratam dalam diskusi di Gedung MPR RI, Jakarta pada Sabtu (3/9/23).

Diskusi bertajuk ‘Learning From Legacy: Political Capacity Building from Experience’ itu merupakan closing event political carreer preparation yang digelar ILUNI UI.

Dihadirkan 4 narasumber yaitu, Rieke Diah Pitaloka, anggota Komisi IX DPR RI periode 2019-2024; Eddy Soeparno, Wakil Komisi VII DPR RI periode 2019-2024; Mustafa Kamal, anggota DPR RI; dan Fadli Zon, anggota DPR RI Komisi I periode 2019-2024.

Menurut Didit, generasi muda memang sudah waktunua duduk di parlemen, tak sekadar menjadi pemilih belaka. Mengingat persentase generasi muda dalam ajang pesta demokrasi terbilang besar mencapai 55 persen.

Karena itu, lanjut Didik, ILUNI UI secara aktif mengajak generasi muda untuk terjun ke dunia politik melalui partai politik apa saja. ILUNI UI bahkan secara periodik menggelar sesi berbagi soal karier politik sebagai bekal bagi generasi muda yang ingin terjun dalam dunia politik.

Sesi berbagi menghadirkan alumni UI yang berpengalaman duduk sebagai wakil rakyat di gedung parlemen.

Didik memastikan, ILUNI UI bersikap netral, tidak memihak pada parpol maupun capres/cawapres tertentu. Bahkan ILUNI UI kini telah mendaftar sebagai tim pengawas Pemilu di Bawaslu untuk Pemilu 2024 nanti.

Tingginya minat orang masuk politik, menurut Fadli Zon, perlu standar kompetensi bagi caleg. Dengan demikian, otaknya tidak kosong saat masuk ke legislatif.

“Meski bisa menjadi pilihan karir bagi seseorang, namun berpolitik itu bukan untuk mencari uang, tetapi wadah untuk berjuang. Sehingga kebijakan yang dihasilkan bisa mensejahterakan rakyat.

“Dibutuhkan orang-orang baik untuk terjun dalam dunia politik agar kebijakan yang dihasilkan juga berpihak pada rakyat,” ucapnya.

Diakui Fadli Zon, politik itu merupakan kekuasaan sehingga penuh dengan gangguan, godaan dan ranjau. Meski demikian, politik itu tidak perlu dihindari.

Terkait animo generasi muda untuk terjun dalam dunia politik dan berkarier menjadi politisi, Fadli Zon mengingatkan agar mereka tetap mengedepankan pengabdian, bukan sekadar mencari uang dan fasilitas lainnya.

Wakil Ketua Badan Sosialisasi MPR RI, Taufik Basari dalam kesempatan yang sama mengakui, masih ada sebagian masyarakat termasuk generasi muda yang menganggap politik itu kotor, saling menikam, menghalalkan segala cara dan berbagai imej negative lainnya.

“Padahal sesungguhnya politik itu untuk mengatur kehidupan manusia agar lebih tertib, taat aturan sehingga hidup menjadi lebih sejahtera,” ujar Taufik Basari.

Menurutnya, politik itu ibarat mata pisau yang bisa menghasilkan dua hal yang berbeda. Jika digunakan dengan niat buruk, maka bisa fatal akibatnya. Namun jika digunakan dengan niat baik, maka muncul nilai kebajikan, kebermanfaatan untuk masyarakat, bangsa dan negara.

“Hanya dengan politik, seseorang dapat kekuasan. Lewat kekuasaan, seseorang bisa memperoleh daya juang lebih tinggi. “Karena itu, jika sedang berkuasa, gunakan secara optimal untuk kebaikan bagi masyarakat luas. Jangan berhenti pada kekuasaan untuk diri sendiri,” tegasnya.

Hal senada dikemukakan mantan artis Rieke Diah Pitaloka. Katanya, politik itu sejatinya mengabadikan diri untuk kepentingan orang banyak. Melalui politik, berbagai keputusan penting bisa dihasilkan.

Ia mencontohkan, sembako murah sebagai bagian dari keputusan politik. Kuliah murah atau mahal itu juga keputusam politik,” katanya.

Rieke mendukung generasi muda untuk terjun dalam dunia politik. Banyak partainya di era reformasi merupakan sinyalemen positif bagi alam demokrasi Indonesia. “Adanya parpol, maka kita menuju alam demokrasi, bukan monarchi,” ucapnya.

Sepakat dengan Rieke, Eddy Suparno mengungkapkan, belakangan ini jarak antara masyarakat dengan parpol semakin menjauh.

“Dalam beberapa survei yang dilakukan lembaga litbang, banyak masyarakat mengaku kecewa terhadap parpol maupun sosok yang dipilih mewakilinya duduk di parlemen. Apalagi banyak anggota parlemen yang terbukti korupsi,” ucapnya.

Meski begitu, Eddy mengimbau agar generasi muda tidak menjauh dari politik dan tidak anti terhadap politisi. Karena melalui politik, banyak persoalan bisa diselesaikan.

Soal kekecewaan sebagian masyarakat terhadap politisi atau lembaga parlemen, Mustafa Kemal bisa memahaminya. Apalagi saat ini DPR RI tak beda jauh dengan DPR RI di masa orde baru.

“DPR sekarang lebih banyak menjadi ‘stempel’ bagi proposal yang diajukan pemerintah. Polanya memang beda, tetapi substansinya sama,” katanya.

Karena itu wajar jika ada masyarakat yang kecewa terhadap parpol maupun politisi. Mereka kemudian menjadi apatis terhadap dunia politik bahkan enggan untuk menjadi politisi. (Tri Wahyuni)

Related posts