Oleh: Isdiyono
Uang,… uang,…dan … uang… menjadi semakin populer di negeri kita. Terlebih lagi saat menjelang Pemilu tahun 2019 yang bergaungnya betambah lebih nyaring.. Bahkan jauh sebelumnya masalah itu sudah terdengar berdengung –dengun. Uang terus dicari, diburu dan dikejar dengan bermacam-macam akal dan cara , baik halal maupun tidak halal. Mereka berpendapat, dengan uang semua akan tercapainya.
Memang diakui peranan uang sangat dominan dalam kehidupan sehari-hari, tidak sorangpun yang bisa menyangkalnya. Baik rupiah, yen, ringgit, pondsterling maupun dolar, bila mungkin akan dikejar dengan berbagai cara.
Dengan benda itu, semua yang diinginkan dapat dicapai dengan sangat mudah,dan segala yang diidamkan dapat terwujud. Sehingga dengan segala upaya , benda itu harus didapat. Untuk memperolehnya, diantaranya memberi janji bohong, menipu, memeras dan bahkan gratifikasi dan korupsi.
Dalam dunia politik, acap kali dijumpai permintaan uang untuk memperoleh jabatan politik tertentu. Dengan bahasa yang menarik dikemas sedemikian rupa, tetapi “penuh kepalsuan dan kelicikan” agar mereka (korban) percaya dan rela menyerahkan uang yang dimintanya.
Jumlahnyapun tidak sedikit, sangat tergantung dari jabatan yang dijanjikan. Bisa ratusan juta, bahkan miliaran rupiah. Entah dari mana asal uang itu diperoleh tidak dipersoalkan, yang penting mampu nenyediakan yang dimintanya. Akan tetapi, setelah uang itu diserahkan, dengan bermacam-macam dalih, janjinya tak kunjung dapat dipenuhi.
Untuk itu terpaksa dilakukan rekayasa alasan itu untuk membela diri. Setelah ditelusuri dengan cermat, memang tidak punya kekuasaan untuk itu dan ternyata hanya berperan sebagai makelar atau calok, atau dalam bahasa yang lebih halus sebagai penghubung. Cukup banyak korban atas perilaku calo, namun tidak tidak berani atau tidak berkehendak mengusutnya secara hukum. Uang yang sudah terlanjur diserahkan, tidak mungkin dikembalikan.
Yang pasti, sudah digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Diantaranya, berganti-ganti mobil berbagai jenis dan merek , membeli rumah di tempat yang eksklusif atau tanah, yang luas, agar terkesan orang kaya. Sebagai kompensasinya, sedikit uang hasil pemerasan itu juga disisihkan atau dberikan untuk hal-hal yang bersifat sosial Didermakan kepada orang-atau badan sosial atau yang sejenisnya.
Padahal, harapannya cukup jelas, agar dinilai kaya yang murah hati dan berjiwa sosial. Agar “merasa selamat” , uang hasil pemerasannya, juga dibagikan-bagikan kepada orang lain. Dibalik itu, juga berkeinginan supaya dosanya dapat berkurang atau bahkan habis. Dihargai oleh masyarakat sekitarnya dan merasa dirinya menjadi terhormat.
Jika kebetulan menjadi politisi, uang hasil pemerasan itu digunakan untuk biaya sosialisasi dirinya menjadi caleg, karena memang membutuhkan dana yang tinggi. Harapannya, supaya berhasil menjadi anggota dewan yang terhormat.
Yang pasti, jika keinginan yang diharapkan itu terlaksana, penyakit kronis itu akan dikambuh kembali untuk menggaet uang haram dengan berbagai cara dan pada tiap kesempatan. Korupsi dan gratifikasi pasti dilakukan pula untuk memulangkan uangnya. Merekapun sangat berharap dapat bebas dari sangsi hukum. Akan semudah itukah?
Jawabannya, pasti tidak. Alam sudah menggariskan hukum sebab akibat (hukum karma) dalam kehidupan , pasti akan berlaku pula. Setiap orang yang menanam, pasti akan memetik hasilnya. Tinggal nunggu waktu saja.
Contoh lain, budaya korupsi ini acap kali dilakukan oleh orang –orang tertentu yang punya jabatan politik, misalnya anggota dewan perwakilan rakyat dan eksekutif, baik pusat maupun daerah. Mumpung masih punya kekuasaan, kesempatan emas itu akan digunakan dengan sebaik mungkin. Dicari celah dengan akal yang menurut pikirannya legal dan aman aman saja. Diantaranya dengan mengolah program anggaran yang menurutnya pasti berhasil dan tetap aman.
Pada sisi lain, hati nurani mereka pasti sangat menyadari bahwa perbuatannya itu melanggar hukum. Akan tetapi dengan sadar yang ditompang oleh kerakusan, tetap saja perbuatan itu dilaksanakan bahkan secara kolektif dengan bekerjasama yang secara rapih dan cermat.
Celakanya, bagi yang sedang bernasib buruk, mereka terkena OTT (operasi tangkap tangan) oleh KPK. Namun tetap saja tidak bersedia mengakuinya. Mereka masih berkelit dan menyangkal., dengan disampaikan beraneka pembenaran atas perilakunya, walaupun KPK sudah memiliki paling sedikit dua barang bukti yang mendukungnya.
Agar terkesan tidak melanggar hukum, mereka mengupayakan untuk senantiasa tetap tegar dan selalu menebar senyum bahkan tertawa kecil, saat mengenakan jaket khusus yag diberikan oleh KPK. Perilaku lainnya, yang karena mempunayi malu, ada pula yang menutup wajah dengan tangannya, memalingkan wajahnys dari kamera TV yang sedang meliputnya beraneka macam tingkah laku yang menggelikan dilakukan.
Dalam proses pemeriksaan oleh penegak hukum, mereka tetap saja berusaha berkelit dan bersikukuh menyangkal atas semua perbuatannya yang melanggar serta dengan gigih menyatakan dirinya tetap tidak bersalah. Dan masih banyak alasan lainnya yang intinya tidak melanggar.
Bukan itu saja, ketika diproses dalam persidangan di pengadilan, mereka menggunakan jasa pembela yang dinilai olehnya mempunyai banyak pengalaman dan mampu membebaskan atau berharap hanya dijatuhi hukuman ringan oleh hakim. Kemudian pada saat divonis di pangadilan, barulah keluar dari mulutnya, kata-kata penyesalan.
Cukup banyak contoh kader partai yang terkena sangsi pidana akibat perilaku tidak mematuhi hukum. Yang jelas, diantaranya mereka pasti berpisah dengan keluarganya dalam waktu yang lama. Tidak dapat bersosialiasi dengan sanak keluarga dan teman-temannya karena berada di Lembaga Permasyarakatan dalam waktu yang panjang.
Harta kekayaannya hasil korupsi disita negara atau harus dijual untuk mengembalikan sesuai dengan vonis hakim yang dijatuhkan kepadanya, Pada sisi lain, harta karun yang berlimpah hasil melanggar hukum, korupsi, grafikasi atau memeras tidak mungkin dapat dinikmati. Bahkan cepat atau lambat akan berkurang untuk biaya hidup keluarganya dalam keseharian.
Akibat buruk lainnya, keluarga pasti ikut tercemar seumur hidup. Dulu dihormati karena kedudukan dan memiliki harta kekayaannya, tetapi kini terkucil. Secara alamiah akan tersingkir dari pergaulan di masyarakat. Kehidupan yang sangat tragis.
Penulis adalah Ketua PPK Kosgoro 1957