Suara Karya

Politisi, Pemangku Agama dan Cendekiawan Jangan Jadi Pemantik Api Permusuhan

Oleh : Nurul Candrasari Masjkuri

Pasca era Soeharto 1998, para politisi era Reformasi memainkan perannya dengan sejumlah pengurus/pendukung partai dimana ada yang berwajah baru dan ada yang wajah lama serta ada politisi lama berganti cassing berkiprah dalam struktur partai-partai baru yang kemudian memunculkan tokoh-tokoh politik baik skala nasional maupun lokal.

Bermunculannya tokoh-tokoh nasional dan lokal di era Reformasi adalah atas peran partai politik atau sebaliknya, ketokohan seseorang yang mendongkrak kepopuleran partai tersebut.

Lahirnya politisi akan ada di setiap masa.
Seperti kata pepatah, bahwa setiap masa ada orangnya dan setiap orang ada masanya, di mana figur-figur yang tentu akan menjadi penentu arah kebijakan di masa depan di negeri ini.

Para tokoh politik tersebut adalah tokoh politik yang memiliki massa yang bahkan memiliki massa pendukung fanatik, yang bahkan seringkali apapun yang disampaikannya akan menjadi panutan bagi pendukung setianya , sampai-sampai muncul adagium :
“Langit itu biru, tapi kalau tuan bilang langit itu hitam maka saya percaya kata tuan”.

Selanjutnya, sejak masa Reformasi ketidakstabilan pemerintahan tiada pernah berjalan serasi antara partai yang pro pemerintah dan yang kontra, dan dimata rakyat seringkali mempertontonkan episode demi episode perebutan kekuasaan karena di era kini kue kekuasaan tidak dapat dikuasai secara dominan oleh 1 parpol tertentu, dan sayangnya kue kekuasaan tersebut juga banyak dinikmati para tikus-tikus rakus yang tidak sesuai awal perjuangannya saat berkampanye, dan yang lebih mengerikan adalah lahirnya konflik horizontal antar sesama, saat ini dimana-mana problem fanatisme terhadap tokoh politik tertentu mengalahkan fanatiknya terhadap agama atau apapun.

Tidak sedikit tokoh politik dan para pendukungnya telah menjadikan politik adalah segala-galanya dalam hidupnya.

Sementara Agama dan politik bagaikan dua saudara kembar yang lahir dari satu ibu, begitu petuah Imam Al-Gazali (1059-1111).

Posisi politik menjadi sangatlah penting dikarenakan semua kebijakan diketok palu melalui proses politik dimulai dari legislasi yang disahkan oleh para politisi di parlemen, sehingga harus disadari masyarakat wajib mengikuti proses politik yang mana berujung atas aturan2 dan UU yang kelak dihasilkan dari para politisi tersebut, yang menyangkut atas hajad hidup dan kehidupan warganegaranya diantaranya
mengatur tata cara hidup perorangan, berkomunitas hingga bernegara, sebagaimana Berthold Brecht (1898 – 1956), seorang penyair Jerman, yang juga dramawan, sutradara teater memberikan pesan penting untuk benar-benar direnungkan dimana ia menyampaikan sbb ;

Buta yang terburuk adalah buta politik, dia tidak mendengar, tidak berbicara, dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik.

Dia tidak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu dan obat, semua tergantung pada keputusan politik. Orang yang buta politik begitu bodoh sehingga ia bangga dan membusungkan dadanya mengatakan bahwa ia membenci politik.

Si dungu tidak tahu bahwa dari kebodohan politiknya lahir pelacur, anak terlantar, dan pencuri terburuk dari semua pencuri, politisi buruk, rusaknya perusahaan nasional dan multinasional yang menguras kekayaan negeri.

Selanjutnya adalah menjadi hal penting bahwa penegasan dalam pembentukan pemerintahan tidak hanya berdasarkan pada pemenuhan kebutuhan praktis duniawi, melainkan harus menjadi jembatan bagi kehidupan setelah kematian, (Iqbal & Nasution, “Pemikiran Politik Islam” Jakarta, 2013: 28).

Dan mengutip kembali dari Al-Gazali, keberadaan seorang pemimpin atau politikus tidak hanya dipilih berdasarkan rasio dan pertimbangan keduniaan melainkan harus lebih dominan dari pertimbangan akhirat, sebab kesejahteraan dunia dan kebahagiaan akhirat tidak akan dicapai tanpa penghayatan dan pengamalan agama secara benar.

Al-Gazali menilai bahwa politik (negara) menempati posisi yang sangat utama dan strategis.

Dan peran para ulama beserta para cendikiawan/ orang-orang yang pandai di bidangnya akan menjadi bagian penting dalam menentukan masa depan sebuah bangsa, sebab dari Para ulama dan para cendikiawan sebagai penasihat para politisi yang akan melahirkan segenap aturan-aturan, UU dan berbagai kebijakan-kebijakan yang akan diterapakan dalam bernegara

Para politisi yang menjadi stakeholder dan pemimpin, jika salah mengetok palu tentang satu UU dan kebijakan, itu tentu akan berakibat fatal bagi umat.

Sebagai contoh kebijakan yang saat ini menjadi perdebatan masalah LGBT yang dianggap dan dilihat hanya dari kacamata HAM tanpa melibatkan pesan-pesan moral dari sisi Agama, sehingga berakibat apakah kebijakan memperbolehkan ruang untuk LGBT itu benar?. Sementara dari sisi agama manapun hal tersebut pasti ditolak.

Dari satu kebijakan tersebut, memperlihatkan dengan jelas bahwasannya para politisi yang memegang tongkat kebijakan yang akan di sahkan harus melibatkan para pemangku agama agar dapat memutuskan kebijakan yang benar demi masa depan anak-anak bangsa di negeri ini.

Sudah selayaknya para politisi yang menjadi pemimpin harus mengikutsertakan peran para ulama dan pemangku agama yang diakui di negeri ini sebagai bahan pertimbangan dan pijakan dalam menentukan kebijakan serta UU yang kelak akan diberlakukan.

Bukankah kerusakan rakyat disebabkan oleh kerusakan pemimpinnya, dan kerusakan pemimpin disebabkan kerusakan para ulama, sementara kerusakan ulama disebabkan oleh cinta harta dan jabatan. Siapa yang dikuasai ambisi duniawi maka ia tidak mampu mengurus rakyat kecil, begitu pesan Al-Gazali dalam “Ihya’ Ulumuddin, II/381”.

Posisi politikus akan sangat tinggi dan mulia bila berada di jalur yang memiliki pegangan yang baik dimana diantaranya harus memiliki landasan-landasan kaidah-kaidah yang baik dari sisi agama dan pendapat para ahli/cendikiawan di bidang yang akan memberikan masukan tatkala membuat kebijakan-kebijakan peraturan- peraturan dan sejumlah UU yang akan di sahkan.

Sebagaimana yang disampaikan Al-Gazali bahwa para umaro/pemimpin itu adalah golongan yang mulia. Oleh sebab itu, para politisi wajib menjaga umat manusia (rakyatnya) dari sikap permusuhan antar sesama. Kemaslahatan umat manusia di bumi ini sangat tergantung dengan kebijakan dan sikap para politisi.

Sementara saat ini, yang dipertontonkan kepada rakyat adalah berbagai episode yang tiada henti justru memecah belah antar sesama, ini semua lebih dikarenakan ambisi merebut atau sedang mempertahankan kekuasaan

Dengan demikian sudah selayaknya para politisi yang memimpin negeri, pemuka /pemangku agama dan para cendikiawan ini harus saling berkerjasama dan khusus untuk para politisi haruslah benar-benar amanah, memerintah tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama yang diakui di negeri ini.

Karena undang-undang yang kelak di sahkan para politisi adalah kebijakan yang akan menentukan rakyat di masa depan dan menjadi sarana untuk memiliki kedudukan yang mulia di sisi Allah, dunia dan akhirat.

Sebaliknya, jika sejak awalnya para politisi sudah memulai meraih jabatan dengan cara yang penuh kecurangan dan kelicikan lalu setelah duduk memegang kekuasaan membuat kebijakan-kebijakan yang tidak bijak, tentu akan merugikan umat sebagai rakyat dan pemilik negeri ini, bahkan akan lebih berbahaya lagi dapat menjadi pemantik api permusuhan.

Penulis adalah, Pengamat Politik sekaligus Dewan Pendiri Kaukus Perempuan Politik Indonesia/KPPI

Related posts